Ahad 03 Dec 2017 05:56 WIB

Nomus, Sistem Hidup Bersama di Pedalaman Pakistan

Rep: rahma sulistya/ Red: Muhammad Subarkah
Jalanan menuju desa Shimshal di perbasan China-Pakistan.
Foto:
Warga Shimsal.

Nomus, sebuah kata Wakhi yang diartikan sebagai 'menunjukkan kepedulian terhadap kemanusiaan', adalah sistem unik dari filantropi sosial -dan bagian integral dari masyarakat Shimshal. Intinya, ini adalah sistem di mana anggota masyarakat yang lebih kaya, mensponsori proyek bangunan seperti jembatan, jalan setapak atau dinding dengan menyediakan sumber daya, makanan dan/atau tenaga kerja mereka sendiri, untuk menghormati memori seorang kerabat entah mereka yang masih hidup maupun yang sudah mati, dan juga untuk menghasilkan berkah dari Tuhan.

Jika seseorang telah menyumbangkan kekayaannya untuk kepentingan semua orang, pada gilirannya seluruh masyarakat akan menjaga dan mengawasi hasil properti itu.

Shimshalis menganggap Nomus sebagai penugasan seumur hidup, bahkan mereka menulis lagu untuk memuji orang-orang yang telah menawarkan jasanya kepada masyarakat. Hal ini tidak dipraktekkan di luar Lembah Shimshal, dan tidak ada yang tahu pasti bagaimana hal itu terjadi atau kapan hal itu dimulai -hal itu telah ada di Shimshal sepanjang masyarakat dapat mengingatnya.

Sebagian besar Shimshalis yang dapat merunut keluarga mereka kembali dalam beberapa generasi, dan memiliki kenangan panjang tentang sejarah mereka sebagai pelayan, merawat ternak dan bertindak sebagai kuli bagi Mir yang menguasai wilayah Hunza, saat ini merupakan negara pangeran -keduanya (Shimshalis dan Mir) sebagai sebuah aliansi anak perusahaan dengan British India dari 1892 sampai 1947 dan sebagai negara pangeran Pakistan dari 1947 sampai 1974.

Setelah negara pangeran dibubarkan oleh pemerintah Pakistan, Shimshalis memusatkan usaha mereka untuk membangun komunitas mereka sendiri, dan dengan bangga menjadi mandiri. Mereka percaya bahwa swasembada adalah cara untuk mengendalikan urusan mereka sendiri, dan mereka tahu betul bagaimana merawat tanah dan rakyat mereka. Nomus, dengan tujuan utamanya memanfaatkan sebuah komunitas, kemungkinan merupakan bagian dari kepercayaan ini.

Essa dan Hussain sepakat bahwa fakta bahwa Shimshal terputus dari sebagian besar belahan dunia lainnya selama ini (sampai 2003 ketika Jalan Shimshal Valley selesai) mungkin mengarah pada penciptaan Nomus. Shimshalis perlu mencari cara untuk menjaga diri mereka sendiri dan satu sama lain. Mereka terlalu terpencil dan terisolasi untuk mengharapkan bantuan dari siapapun di luar komunitas mereka.

Essa menduga, tradisi Nomus setidaknya berumur 100 tahun atau lebih. "Dahulu, seseorang yang memiliki banyak kambing dan domba, menawarkan ternak mereka itu ke masyarakat, sehingga masyarakat lain bisa mendapatkan keuntungan dari kedermawanan pemilik ternak ini. Pada gilirannya, masyarakat, akan membantu merumput ternak," kata dia.

Sebagian besar perbaikan infrastruktur di Shimshal seperti, termasuk jembatan; panel surya yang memiliki daya 250 atau lebih, rumah dan menara telepon seluler dengan listrik; dinding batu yang melapisi jalan desa; dan rumah batu dan lumpur dibangun di sepanjang jalan setapak, merupakan hasil Nomus. Ada Komunitas Konservasi Shimshal yang dikelola masyarakat, yang mengawasi wilayah ini dan mengurus tanahnya.

Bahkan, Shimshal Valley Road dibangun melalui komunitas lokal untuk menjadi sukarelawan, yang bekerjasama dengan Program Dukungan Pedesaan Aga Khan dan Pemerintah Pakistan. Shimshalis bangga dengan rumah mereka dan menghadapi kenyataan bahwa mereka telah membangun desa mereka sendiri.

Kakeknya Essa meninggal pada awal 2000-an, dan sekarang Essa mempertahankan jembatan Chichan Bag, membangunnya kembali pada 2004 setelah banjir membasuhinya. Keturunan Chichan Bag akan terus mempertahankan jembatan selama mereka masih hidup. Dan akan selalu menaungi namanya, yang dikenal sebagai, the Chichan Bag Bridge. Nama ini diabadikan agar tidak menyia-nyiakan kenangan akan nenek moyang mereka, dan tidak lupa bersyukur kepada Tuhan.

"Jika anak-anak saya ingin membangun sesuatu untuk saya, tentu saja saya akan bahagia," kata Essa. "Tapi itu tergantung pada, apakah setelah mereka membangun itu, untuk menghormati dan bisa mengaturnya. Atau apakah mereka memilih mempertahankan apa yang telah saya dan nenek moyang bangun. Jika bisa keduanya, saya akan bahagia," papar Essa.

sumber : bbc.com
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement