REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sapto Andika Candra
Beberapa hari belakangan masyarakat Sumatra Barat khususnya praktisi, pengamat, dan pegiat pariwisata di Sumatra Barat mendadak dihebohkan oleh branding wisata baru, "Taste of Padang". Meski namanya mengusung nama Ibu Kota Provinsi Sumbar, Padang, namun slogan baru ini diyakini mampu mewakili keseluruhan destinasi wisata di Sumatra Barat yang terdiri dari 19 kabupaten/kota.
Tapi apa boleh buat, sejak diluncurkan pada Jumat (24/11) lalu, branding baru ini memantik pro dan kontra.
Polemik yang kemudian muncul, banyak yang menganggap penggunaan 'Padang' memiliki makna terlalu sempit. Rapat final peluncuran slogan promosi wisata 'Taste of Padang' pada akhir pekan lalu sebetulnya sudah mencapai kata sepakat oleh perwakilan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Sejumlah Bupati dan Wali Kota juga tampak hadir dalam rapat tersebut. Dari Pemerintah Provinsi dihadiri oleh Wakil Gubernur Nasrul Abit dan Kepala Dinas Pariwisata Sumbar Oni Yulfian.
Debat panjang dan cukup panas sempat muncul dalam pembahasan akhir tentang peluncuran branding wisata ini. Namun toh akhirnya semua pihak sepakat.
Kata 'Padang' disepakati mewakili keragaman destinasi wisata di Sumatra Barat. Tapi justru setelah diluncurkan, polemik bergulir. Respons tak sepakat bermunculan dari para pegiat dan praktisi wisata di Sumatra Barat. Lantas sebenarnya branding 'Taste of Padang' untuk siapa?
Peneliti dari Pusat Pengembangan Pariwisata Universitas Andalas, Sari Lenggogeni, menilai bahwa pemerintah terlalu terburu-buru membuat branding wisata bagi Sumatra Barat. Padahal, menurutnya, keberadaan slogan wisata yang konsisten terbukti ampuh mendorong laju kunjungan wisatawan.
Sari mengungkapkan, pembuatan branding wisata pada prinsipnya bertujuan mengenalkan identitas dan kekuatan produk wisata Sumatra Barat kepada pasar, baik pasar yang sudah eksis atau pasar potensial yang baru disasar. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi pertimbangan dalam membuat branding wisata ini, yakni budaya, masyarakat, dan produk yang ditawarkan.
"Nah yang harus diingat kita ini Sumatra Barat ya. Sumbar dengan 19 kabupaten/kota. Kalau mau 'Taste of Padang', itu untuk Kota Padang saja," jelas Sari, Senin (27/11).
Argumen awal yang disampaikan pihak konsultan tentang penggunaan diksi 'Padang', lantaran masyarakat umum di Nusantara dan mancanegara jamak yang mengenal Sumatra Barat dengan 'Padang' saja. Tak hanya itu, perantau asal Tanah Minang juga kerap memperkanalkan dirinya sebagai 'orang Padang', alih-alih 'orang Solok' atau daerah lainnya di Sumbar.
Sari beranggapan, justru pembuatan branding wisata baru ini adalah jalan terbaik untuk meluruskan pandangan yang kadung salah selama ini. Ia justru meminta pemerintah meluncurkan sebuah brand wisata yang menggambarkan Sumatra Barat secara utuh.
"Ini jalan untuk meluruskan ini. Sumbar terdiri dari 19 kabupaten/kota. Kita satu kesatuan. Branding kan tujuannya perkenalkan siapa kita, bagi yang belum kenal," katanya.
Dibanding 'Taste of Padang', Sari memandang penggunaan 'West Sumatra' akan lebih bijak. Keawaman orang asing tentang Sumatra Barat, menurutnya, bisa perlahan dinetralisir dengan promosi yang konsisten dan masif.
Ia mengambil contoh, slogan 'Wonderful Indonesia' saat ini menjadi salah satu branding yang paling dikenal lantaran promosi yang konsisten dari pemerintah pusat.
"Sumbar ini unggul di nature. Alam, Bahari, dan Heritage. Tagline bisa ke sana, misalnya Genuine West Sumatra. Tapi ya tetap harus lewat kajian panjang," ujar Sari.
Komentar senada juga disampaikan Bayu Hariyanto, seorang pegiat promosi wisata Sumatra Barat sekaligus pendiri Padang Heritage. Bayu beranggapan, tagline 'Taste of Padang' belum kuat menunjukkan keragaman potensi wisata yang ada di Sumatra Barat. Padahal, lanjutnya, kekayaan wisata Sumatra Barat muncul dari alam, budaya, hingga kulinernya yang sangat kaya.
Bagi Bayu, pembuatan branding wisata harus melibatkan seluruh pihak yang bersinggungan langsung dengan sektor ini. Menurutnya urusan wisata itu semacam pentahelix. Maksudnya, ada lima pihak yang harus dilibatkan yakni pemerintah, akademisi, pelaku bisnis, media, dan komunitas. Ia berharap ada kajian yang lebih panjang dan mendalam serta melibatkan pelaku wisata di Sumatra Barat sendiri.
"Semoga ada alternatif yang lain yang bisa ditemukan untuk menunjukkan pariwisata Sumbar itu," katanya.