Jumat 24 Nov 2017 05:21 WIB

Menghadapi Era Disrupsi

Digital Transformasi. Ilustrasi
Foto:

Hal ini memerlukan inisiatif pemerintah untuk menata ulang arah kebijakan pendidikannya mulai dari paradigma, kurikulum, assessment hingga sistem rekrutmen serta metode pengembangan profesionalitas guru di pendidikan dasar ataupun pendidikan tinggi.

Sayangnya, kebijakan saat ini belum mampu menjawab kebutuhan pendidikan pada masa depan. Misalkan kurikulum dan assessment, sistemnya masih berorientasi penguasaan materi akibatnya pengajaran guru lebih berorientasi pada peningkatan nilai akademis siswa.

Orientasinya bukan pada aspek karakter atau kompetensi yang dibutuhkan di abad ke-21, seperti berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, kolaborasi, hingga pemecahan masalah. Karena itu, perombakan kebijakannya harus komprehensif mulai dari hulu hingga hilir.

Di hulu, paradigma pendidikannya harus digeser dari pendidikan yang menstandardisasi ke pendidikan berbasis keunikan individu. Paradigma yang baru ini tidak menuntut capaian belajar yang diseragamkan, tetapi diberi ruang untuk tumbuh secara berbeda.

Sedangkan di hilir, guru dikembangkan untuk lebih melek teknologi digital serta memiliki ketrampilan mengajar 'metakognisi', yakni mengajarkan siswa bagaimana cara belajar yang benar agar dapat menjadi pembelajar mandiri pada era persaingan yang kompetitif.

Dalam taksonomi Bloom yang direvisi David Krathwohl tahun 1991, ranah metakognisi meliputi enam tingkatan kecerdasan akademis, yakni mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta (creating).

Sistem pengajaran saat ini tidak dirancang untuk menjalankan enam tingkatan kecerdasan metakognisi itu.

Pembelajaran metakognisi mensyaratkan ekosistem belajar positif yang mampu memfasilitasi siswa mengenali dirinya sendiri serta mampu mengelola perilaku dan karakter diri. Untuk itu, peran guru lebih untuk membimbing siswa mengembangkan bakat atau potensi yang dimiliki.

Perubahan mendasar pada peran tersebut menuntut sistem perencanaan guru yang baru agar mutu dan profesionalitas guru sesuai tuntutan pendidikan ke depan.

Kinerja guru bukan semestinya hanya diukur pada uji kompetensi guru yang lebih bersifat teoritis dan administratif, melainkan kemampuannya untuk menghadirkan ekosistem pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan.

Ekosistem tersebut akan membuat siswa bergairah dalam belajar serta gigih dalam memenangkan pertarungan pada abad digital. Dan ekosistem itu membutuhkan guru dengan mindset baru, kaya inovasi atau konten pembelajaran, fleksibel, serta adaptif terhadap perubahan dunia yang sangat cepat.

Jika semua kualitas itu terpenuhi, tidak akan ada keraguan tentang pentingnya guru pada era disrupsi ini.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement