Kamis 23 Nov 2017 06:17 WIB

KPK Dalami Peran Setnov dalam Korupsi KTP Elektronik

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Elba Damhuri
Tersangka kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto (tengah) berjalan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (21/11).
Foto: Mahmud Muhyidin/Republika
Tersangka kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto (tengah) berjalan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menggali peran Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dalam kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (KTP-el). Pada Rabu (22/11), penyidik KPK melakukan pemeriksaan terhadap beberapa saksi untuk melengkapi berkas Novanto.

"Hari ini dilakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi untuk penyidikan kasus KTP-el dengan tersangka SN (Setya Novanto), yaitu Made Oka (mantan bos Gunung Agung), Ade Komarudin (sekretaris Fraksi Golkar 2009-2014), dan Damayanti (plt sekretariat jenderal DPR)," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, Rabu (22/11).

Selain itu, KPK juga memeriksa mantan direktur utama PT Murakabi Sejahtera Deniarto Suhartonodan serta terdakwa kasus KTP-el Andi Agustinus atau Andi Narogong. Sebelumnya, sejumlah saksi untuk Novanto juga telah diperiksa, dari anggota DPR Agun Gunandjar Sudarsa dan Miryam S Haryani hingga Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie.

Baca Juga: Raibnya Setnov Hingga Kecelakaan (1)

Febri menuturkan, setelah penahanan dilakukan, penyidik lekas mendalami peran Ketua Umum Partai Golkar tersebut dalam kasus KTP-el yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Pemeriksaan terhadap sejumlah saksi, tambah Febri, juga untuk memperkuat konstruksi hukum kasus KTP-el. Sejauh ini, kelengkapan berkas penuntutan KPK terhadap Novanto mencapai 70 persen.

KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi KTP-el tahun anggaran 2011-2012 pada 31 Oktober 2017. Pada Ahad (19/11) malam, KPK memindahkan Setya Novanto dari RSCM ke Gedung Merah Putih KPK untuk menjalani penahanan.

Febri mengatakan, saat ini ada dua tim yang berjalan paralel terkait kasus Novanto. "Tim dari biro hukum ditugaskan untuk mempelajari dokumen praperadilan yang telah diterima KPK, termasuk salah satu alasan pihak SN (Setya Novanto) bahwa penyidikan yang dilakukan KPK ne bis in idem," tutur dia.

Baca Juga: Raibnya Setnov Hingga Kecelakaan (2)

PN Jakarta Selatan telah menjadwalkan sidang perdana gugatan praperadilan Novanto pada 30 November 2017 dengan menunjuk hakim tunggal Kusno yang merupakan wakil ketua Pengadilan Negeri Jaksel.

Dalam hukum pidana nasional di Indonesia, asas ne bis in idem ini dapat ditemui di dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Artinya, seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapatkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Febri menambahkan, tim yang kedua yakni dari penindakan, tetap menangani pokok perkara. KPK, lanjutnya, tetap akan menangani perkara kasus KTP-El itu dengan hati-hati dan mengacu pada bukti. Lembaga antirasuah tersebut juga tidak mau terburu-buru dalam penanganan kasus itu.

Selepas pemeriksaan kemarin, Ade Komarudin menuturkan, pertanyaan yang diajukan penyidik tidak jauh berbeda dengan pemeriksaan sebelumnya. "Pemeriksaan yang sama, makanya tadi tidak lama, keterangannya tidak ada yang berubah, tidak ada yang baru," kata Akom di gedung KPK, kemarin.

Dalam persidangan kasus KTP-el dengan terdakwa Andi Agustinus beberapa waktu lalu, Akom mengaku pernah melaporkan desas-desus mengenai peran Setya Novanto dalam proyek KTP-el kepada ketua umum Golkar saat itu, Aburizal Bakrie alias Ical.

“Saya saat itu kebetulan sekretaris fraksi dan beliau (Novanto) juga bendahara partai. Posisi itu krusial. Kalau partai menerima uang tidak halal maka partai bisa terlibat," kata Akom saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (16/10) lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement