REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun berharap presiden perlu terlibat membersihkan para pejabat negara dari tindak pidana korupsi. Hal ini terkait daruratnya pemberantasan korupsi hingga menyeret hampir semua ketua-ketua lembaga negara, seperti DPD RI, Mahkamah Konstitusi (MK), dan DPR RI.
Refly mengusulkan sudah saatnya presiden turun tangan secara langsung. Karena korupsi yang sudah masuk kategori darurat ini tidak bisa ditangani biasa-biasa saja. Turun langsungnya Presiden Jokowi dalam hal memimpin dengan instruksi tegas dan jelas pemberantasan korupsi.
"Presiden Jokowi tidak perlu lagi sekedar formalistik, seolah tidak ingin mengintervensi penegakkan hukum. Presiden harus menggunakan segala sumber daya yang dimiliki untuk memastikan kesuksesan pemberantasan korupsi," ujar Refly, Rabu (22/11).
Termasuk dalam hal ini presiden harus jelas posisinya melindungi KPK. Karena lucu menurut dia, ketika publik berteriak-teriak darurat korupsi, tapi justru KPK terus 'digebuki' dengan berbagai tuduhan seperti yang disuarakan oleh DPR lewat Hak Angket.
Ia menyadari KPK bukanlah lembaga tanpa kesalahan. Tapi saat ini yang dibutuhkan KPK dan bangsa Indonesia memperkuat semua daya upaya pemberantasan korupsi. Tidak hanya KPK, menurut Refly, kepolisian dan kejaksaan pun harus direvitalisasi. "Termasuk bila Densus Antikorupsi polisi bila diperlukan, saya setuju," ujarnya.
Karena, menurutnya, tidak mungkin pemberatasan korupsi hanya diserahkan pada KPK. Tetapi, kalaupun Densus Antikorupsi di polisi dibentuk, KPK tetap yang utama. Alasannya, KPK yang memegang kewenangan melakukan koordinasi, supervisi dan bahkan mengambil alih kasus korupsi.
Jadi tidak ada sikap lain dari presiden selain melindungi dan memperkuat semua upaya pemberantasan korupsi. "Jadi saya melihat upaya pemerintah masih kurang. Seperti gonjang ganjing KPK misalnya harusnya di pemerintahan Jokowi tidak ada mengombang-ambingkan KPK," jelas Refly.