REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pengamat politik asal lembaga survei regional (LeSuRe) Mufti Mubarok berpendapat dipilihnya Emil Dardak mendampingi Khofifah Indar Parawansa di Pilkada Jatim terkesan dipaksakan oleh Partai Demokrat.
"Kesannya dipaksakan oleh Demokrat dan Soekarwo, karena takut partai tidak dapat peran di Pilkada, termasuk ingin menyelamatkan diri dan tidak ingin ketinggalan dalam penentuan Cawagub," ujarnya ketika dikonfirmasi, Rabu (22/11).
Menurut dia, Emil Dardak yang juga Bupati Trenggalek dipilih oleh Demokrat bukannya tanpa alasan, yaitu karena salah seorang tokoh fenomenal yang berdasarkan hasil surveinya mendapat hasil positif.
Salah satunya berdasarkan hasil survei lembaganya, LeSuRe, menempatkan suami artis Arumi Bachsin itu memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas setara dengan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
"Azwar Anas diusung PDI Perjuangan kuat dibasis Tapal Kuda, sedangkan Emil Dardak mencerminkan Mataraman dengan basis utama Partai Demokrat," ucapnya.
Selain itu, kedekatan Emil dengan SBY orang asli Pacitan dan Pakde Karwo yang asli Madiun akan menjadi energi besar bagi pasangan tersebut, ditambah Khofifah asal Surabaya dan memiliki basis di Tapal Kuda sehingga perlu penyeimbangan.
"Pertarungan 'Head to Head' antara Gus Ipul-Anas dan Khofifah-Emil Dardak adalah sepadan dan kalaupun menang maka akan tipis sekali," katanya.
Kendati demikian, kata dia, peluang kandidat lain dari "poros emas" masih terbuka karena PAN, Gerindra, PKS, termasuk PPP belum menentukan pasangannya secara resmi untuk Pilkada 27 Juni 2018.
Meski diprediksi sulit melawan kekuatan yang sudah ada, namun masih ada peluang sebagai "kuda hitam" dan calon alternatif, yang kemungkinan memunculkan nama La Nyalla dengan Masfuk. "Pilkada memang masih lama, tapi biasa banyak kejadian yang di luar pengamatan. Artinya, tiga poros ini sama sama berpeluang," katanya.