Selasa 21 Nov 2017 08:50 WIB

Diteriaki Maling di Tanah Leluhur

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Budi Raharjo
Hutan adat (ilustrasi)
Foto: Dokumen
Hutan adat (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,PADANG -- Niat mencari penghasilan tambahan, malah berujung bui. Nasib manusia memang siapa yang tahu.

Agusri Masnefi (47 tahun) dan Erdi Datuk Samiak (60 tahun) sudah tak pulang ke rumah mereka yang sederhana di Nagari Koto Malintang, Agam, Sumatra Barat sejak 27 September 2017 lalu. Nyaris dua bulan lamanya, keduanya terpaksa merasakan dinginnya jeruji besi di rumah tahanan Markas Polres Agam, hingga kini.

Masa tahanan mereka dijadwalkan habis pada 26 November 2017 mendatang. Namun proses hukum bagi keduanya masih tak jelas. Memang tak enak rasanya, diteriaki maling di tanah milik leluhur sendiri.

Baik Masnefi dan Erdi, keduanya disangkakan oleh polisi sebagai pelaku pembalakan hutan konservasi. Erdi yang berprofesi sebagai petani ditangkap lebih dulu saat melakukan penebangan kayu bayur di sebuah kawasan yang diakui sebagai tanah adat, sebuah wilayah yang secara struktur diakui oleh Nagari Koto Malintang.

Ia diminta oleh Masrefi yang memang membutuhkan bilah kayu tambahan untuk membangun kedai di tepi Danau Maninjau. Dua buah motor yang digadaikan ternyata belum cukup memberikan modal untuk mendirikan warung kecil-kecilan.

Masnefi sehari-hari berjualan sate keliling. Ayah empat anak tersebut berniat menambah penghasilan dengan membuka kedai kecil yang menjajakan makanan dan minuman. Ia bukannya lupa soal urusan adat.

Sebelum menebang dua batang pohon, Masnefi sudah mengajukan izin kepada Wali Nagari. Izin keluar tanggal 19 September 2017 lalu. Tapi apes, sejumlah petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sedang menyantap makan siang tak jauh dari lokasi penebangan pohon. Erdi digiring ke Polres Agam, menyusul Masnefi yang ikut ditangkap saat ingin mencoba membebaskan kawannya. Tapi apakah keduanya salah?

Ditilik dari prosedur adat, Masnefi sudah taat aturan. Surat izin pemanfaatan kayu di atas tanah adat sudah dipegang. Kenagarian Koto Malintang mengeluarkan izin tersebut lantaran penebangan kayu dilakukan murni untuk kebutuhan pribadi bukan komersil.

Pun setelah ditebang, si penebang harus melakukan penanaman pohon sebagai pengganti pohon yang ditebang. Kearifan lokal ini sudah berjalan puluhan bahkan ratusan tahun di Tanah Minang. Kondisi ini didukung oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan kembali bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat, dan bukan lagi sebagai hutan negara.

Tapi apa bisa dikata, Kepolisian Agam dan BKSDA Sumatra Barat teguh pada sangkaan bahwa kedua masyarakat adat yang mereka tahan telah melakukan penebangan di kawasan hutan tanpa izin resmi. Izin dari siapa? Kalau berurusan dengan hutan konservasi tentu harus ada izin dari kementerian pusat. Hal ini juga tertuang dalam Undang-Undang nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.

Bagi wong cilik seperti Masnefi dan Erdi, apalah arti rentetan pasal yang dituduhkan kepada mereka. Tuduhan pelanggaran atas Undang-Undang yang dibacakan di depan mereka justru membuat keduanya dan keluarga yang ditinggalkan semakin merasa kerdil di hadapan hukum negara yang agung.

Dua bulan tak pulang membuat masing-masing keluarga kehilangan tulang punggung ekonomi. Salah satu putri Masnefi, Ratna, yang kini duduk di bangku kelas 3 SMA kini terpaksa belajar di rumah. Keputusan ini diambil lantaran tak ada lagi pemasukan bagi keluarga untuk menambal biaya hidup sehari-hari, termasuk untuk membayar biaya sekolah Ratna.

Urusan soal kriminalisasi masyarakat adat memang panjang. Ujungnya, keluarga yang ditinggalkan yang merana. Sekolah anak-anak mereka terancam terbengkalai. Sedangkan pelaku pembalakan liar dari korporasi besar justru licin dari jeratan hukum.

Laila (9 tahun), putri bungsu Masnefi bahkan kerap membolos sekolah demi ikut ibunya mengantar makanan ke rumah tahanan. Laila memang disebut paling dekat dengan ayahnya di antara anak-anaknya. Terakhir, dalam sebuah kunjungan ke rumah tahanan Polres Agam pada 13 November 2017 lalu, Laila menitipkan surat kepada ibunya agar disampaikan kepada Masnefi. Isinya kurang lebih berisikan soal kerinduan seorang anak kepada ayahnya.

"Ayah, Ila minta maaf lupa mengucapkan Selamat Hari Ayah patang (kemarin). Ila kirim kan surek (surat) ke ibu. Selamat hari Ayah. Cepat pulang Ayah. Jangan lupakan Ila dalam mimpi Ayah," begitu isi surat Laila yang hingga kini masih disimpan oleh Aslinda (42 tahun) istri Masnefi sekaligus ibu Laila.

Buntunya upaya hukum sempat dihadapi oleh Aslinda yang ingin suaminya segera bebas. Sebagai orang yang minim pengetahuan soal hukum, Aslinda sempat pasrah dan hanya bisa memohon kepada kepolisian untuk membebaskan suaminya. Upaya penagguhan penahanan sempat diajukan Oktober lalu, tapi nihil respons. Hingga akhirnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Padang mendengar kasus ini dan memutuskan untuk terlibat.

Direktur LBH Padang, Era Purnama Sari, menilai bahwa persoalan yang dihadapi Masnefi dan Erdi sebagai gambaran bahwa perlindungan terhadap masyarakat adat masih belum ada. Bahkan kejadian ini menjadi lucu, lanjutnya, ketika menyadari bahwa masyarakat adat sudah hidup lama di atas tanah ulayat mereka sendiri.

"Masalahnya, di Sumbar ini belum ada satupun kawasan hutan yang ditunjuk tata batas. Baru hanya ada penunjukan, termasuk di Koto Malintang itu," jelas Era.

Era merasa bahwa negara tak bisa sepihak mengklaim kawasan hutan konservasi tanpa melibatkan masyarakat adat. Masyarakat adat juga sebetulnya sudah menjalankan mekanisme perlindungan hutan secara arif. Misalnya, penebangan pohon tak boleh dilakukan lebih dari dua batang dalam sekali tebang. Itu pun, pemanfaatan kayu di atas hutan adat tetap harus seizin Ninik Mamak selaku tokoh adat.

"Jadi saya melihat, kasus ini problemnya ada di Negara. Masyarakat memiliki kearifan lokal sendiri untuk menjaga lingkungan," jelas Era.

Era merasa kasus ini harus dikawal. Perhatian LBH Padang saat ini, lanjut Era, adalah upaya untuk membantu anak-anak Masnefi dan Erdi yang terancam putus sekolah. Ia berupaya menghubungi Dinas Sosial untuk bisa memberikan solusi atas masalah ini. "Kedua, upaya terhadap proses hukum, pendampingan. Sudah mulai didampingi," katanya.

LBH sendiri berniat mengajukan permohonan pengalihan penahanan bagi kedua masyarakat adat yang kini ditahan polisi. Minimal, katanya, keduanya akan diupayakan menjadi tahanan kota agar baik Masnefi dan Erdi bisa tetap bekerja.

Jamaknya kasus kriminalisasi masyarakat adat membuat pemerintah pusat buka suara. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebutkan, dalam pembahasan antara pemerintah pusat dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), disebutkan bahwa hutan adat ditetapkan batasnya, namun fungsinya sebagai hutan konservasi dan lindung tetap tidak berubah. Pihaknya, lanjut Siti, berencana menindaklanjuti kasus ini melalui Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada Desember 2017 mendatang.

Meski begitu, Siti mengakui bahwa isu soal kriminalisasi masyarakat adat menjadi isu awet yang belum bisa diselesaikan hingga kini. Ia berjanji akan mengajak berbagai pemangku kepentingan, terutama masyarakat adat untuk mencari jalan keluar atas bias pemahaman antara hutan negara dan hutan adat di lapangan.

"Tapi sejak 2015, saya tegaskan kepada jajaran Polhut, dan tim konservasi agar tak main tangkap. Lakukan secara persuasif," jelas Siti kepada Republika.

Kasus yang menyangkut petani dan pedagang sate keliling di Agam, Sumatra Barat tersebut kini ditangani oleh LBH Kota Padang. Keluarga Masrefi dan Erdi berharap, keduanya bisa segera dibebaskan. Bagi mereka, sejak awal prosedur hukum sudah dilakukan meski secara adat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement