Kamis 16 Nov 2017 12:56 WIB

Pengamat: Setya Novanto Pantas Menyandang Status Buronan

Rep: Mabruroh/ Red: Bilal Ramadhan
Setya Novanto
Foto: EPA/Mast Irham
Setya Novanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) pertimbangkan keluarkan surat daftar pencarian orang (DPO) untuk Setya Novanto. KPK juga akan berkoordinasi dengan kepolisian untuk menempelkan status buron pada Setnov.

Pengamat Hukum Universitas Trisaksi, Abdul Fickar Hajar menilai sangat pantas Ketua DPR RI itu menyandang status buron. Pasalnya dengan upaya-upaya Setnov menghindar dari jeratan hukum selama ini sudah menunjukan Setnov tidak menghargai hukum.

"Dengan menghindar dan menghilang pasti melanggar hukum, karena itu (Setnov) pantas menyandang status buronan," ujar Fickar melalui pesan singkat, Kamis (16/11).

Menurut Fickar, sebagai seorang Ketua DPR RI amat disayangkan sikap Setnov yang selalu mangkir dari pemeriksaan. Dari 11 penggilan penyidik KPK, sebanyak delapan panggilan telah diabaikannya.

"Sebagai Ketua DPR seharusnya dia tidak mangkir dari panggilan KPK, sebagai pejabat publik seharusnya dia menjadi tauladan bagi masyarakat," ujar Fikar.

Namun yang dilakukan Ketua Umum Partai Golkar ini justru jauh dari kata tauladan. Setnov sambung Fikar, bahkan menggunakan sumber daya politik dan ekonominya untuk bisa keluar dari jeratan hukum.

"Setnov memiliki berbagai sumber daya kekuasaan politik, ekonomi dan hubungan-hubungan informal termasuk dengan beberapa pejabat publik eksekutif," ujar Fikar.

Pada Jumat (10/11) KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. KPK menduga Novanto pada saat proyek KTP-el bergulir Novanto yang menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama dengan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharja, pengusaha Andi Agustinus dan dua pejabat Kemendagri Irman, dan Sugiaharto, menguntungkan diri sendri atau korporasi atau orang lain dengan menyalahgunakan jabatan atau kewenangan dan kedudukan yang mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun tersebut.

Menurut penasihat hukum Novanto, Fredrich Yunadi, kliennya memiliki hak untuk mangkir lantaran KPK juga bersikap sama ketika dipanggil oleh Pansus Angket DPR. Fredrich mengakui, selain alasan izin Presiden dan hak imunitas anggota DPR, uji materi UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK) juga menjadi dasar Novanto tidak memenuhi panggilan KPK.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement