Rabu 15 Nov 2017 20:25 WIB

KPK akan Pertimbangkan Pemanggilan Paksa untuk Setnov

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Febri Diansyah - Juru Bicara KPK
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Febri Diansyah - Juru Bicara KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabiro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, terkait upaya pemanggilan paksa terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto dalam kapasitasnya sebagai tersangka kasus korupsi KTP-elektronik (KTP-el) masih dalam pertimbangan. Saat ini, KPK tengah fokus mengumpulkan konstruksi kebutuhan penyidikan.

"Pemanggilan paksa itu salah satu opsi yang disediakan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kapan itu diterapkan tentu perlu dipertimbangkan terlebih dahulu. Terkait juga proses penyidikan itu sendiri," kata Febri di Gedung KPK Jakarta, Rabu (15/11).

Menurut Febri, pemanggilan Novanto sebagai tersangka baru sekali dilakukan sejak penetapan kembali Ketum Partai Golkar itu sebagai tersangka pada Jumat (10/11) lalu. "Untuk itu kita akan pertimbangan lebih lanjut. Sejauh mana aturan-aturan di KUHAP diterapkan," ujarnya.

Saat ini, sambung Febri, penyidik KPK juga sedang fokus mengumpulkan konstruksi kebutuhan penyidikan dan fokus dengan proses pemanggilan saksi serta pemanggilan tersangka jika dibutuhkan.

KPK telah menerima surat ketidakhadiran Novanto pada Rabu (15/11) pagi. Surat ketidakhadiran yang ditandatangani oleh kuasa hukum Ketum Partai Golkar ituterdiri dari tujuh halaman, berisi poin-poin alasan tak dapat memenuhi panggilan pemeriksaan, salah satu alasannya adalah masih menunggu Judical Review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Pada Jumat (10/11) KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.Penetapan tersangka terhadap Ketum Golkar tersebut pun sudah melalui beberapa tahapan setelah KPK mempelajari putusan praperadilan dari Hakim Tunggal Ceppy Iskandar.

KPK menduga Novanto pada saat proyek KTP-el bergulir Novanto yang menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama dengan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharja, pengusaha Andi Agustinus dan dua pejabat Kemendagri Irman, dan Sugiaharto, menguntungkan diri sendri atau korporasi atau orang lain dengan menyalahgunakan jabatan atau kewenangan dan kedudukan yang mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun tersebut.

Atas perbuatannya, Novanto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement