REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta masyarakat yang menduga terkena infeksi bakteri membeli dan mengkonsumsi antibiotik tanpa mengetahui hasil pasti dari laboratorium. Sekretaris Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Kemenkes Mariyatul Qibtyah mengatakan, seringkali masyarakat merasa ketika dirinya sakit seperti panas menduga terinfeksi bakteri. Padahal, kondisi itu belum tentu terjadi.
"Jadi, seharusnya cek laboratorium dulu. Minimal darah lengkap," katanya saat pemaparan mengenai memperingati pekan peduli antibiotik, di Jakarta, Selasa (14/11).
Karena jika setelah dicek darah ternyata hasilnya normal, kata dia, tetapi alami panas tinggi namun trombosit rendah artinya ia sakit karena virus. Jadi dia tidak membutuhkan antibiotik. Setelah tes laboratorium, kata dia, seharusnya ada pemeriksaan lebih detil mengenai ini misalnya pemeriksaan mikrobiologi.
Karena itu, ia meminta tenaga kesehatan tidak gegabah memberikan atau meresepkan infeksi dengan antibiotik tanpa mengetahui pasti hasil laboratorium dan menegakkan diagnosa. Ia menyebut regulasi secara tegas menetapkan antibiotik adalah obat keras.
Antibiotik jadi obat yang digunakan mencegah dan mengobati infeksi bakteri. Jadi, obat ini hanya bisa diberikan dengan resep dokter. Namun, ia mengakui hingga saat ini masih terjadi salah paham dan penggunaan antibiotik. Masyarakat awam Indonesia banyak yang mengira antibiotik adalah vitamin.
"Misalnya kalau tidak minum antibiotik badan saya kurang fit. Ini bahaya," ujarnya.
Akhirnya mereka membeli tanpa mendapat resep dokter ke apotek atau bahkan warung. Kondisi ini makin diperburuk dengan penjual obat yang ada di warung tidak mendapat edukasi mengenai penggunaan antibiotik dan menjual bebas obat ini. Padahal, jika berlebihan mengkonsumsi antibiotik akan terkena resistensi antibiotik (Antimicrobial resistance /AMR).
Ini tentu menyimpang dari regulasi dan jadi masalah serius. Untuk itu ia mengajak semua pihak terlibat untuk pemahaman mengenai penggunaan antibiotik. Pihaknya mengaku akan berkoordinasi dengan dinas terkait, hingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).