Senin 13 Nov 2017 03:51 WIB

Antimikroba, Bagai Pisau Bermata Dua

Rep: Dessy Susilawati/ Red: Yudha Manggala P Putra
Peternakan sapi Brahman di Indonesia.
Foto: abc
Peternakan sapi Brahman di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Antimikroba merupakan salah satu temuan yang sangat penting bagi dunia, mengingat manfaatnya bagi kehidupan, terutama untuk melindungi kesehatan manusia, hewan, dan kesejahteraan hewan. Akan tetapi bagai pisau bermata dua, jika dalam penggunaannya antimikroba ini dilakukan secara tidak bijak dan tidak rasional, maka menjadi pemicu terhadap kemunculan bakteri yang tahan atau kebal terhadap efektivitas pengobatan antimikroba.

Hal ini diungkapkan oleh I Ketut Diarmita selaku Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ia menjelaskan, resistensi Antimikroba (AMR), telah menjadi ancaman tanpa mengenal batas-batas geografis, dan berdampak pada kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan.

"Untuk itu, harus kita sadari bahwa ancaman Resistensi Antimikroba juga merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, khususnya bagi pembangunan di sektor peternakan dan kesehatan hewan," ungkapnya dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, belum lama ini.

Menurutnya, berdasarkan laporan di berbagai negara mencatat adanya peningkatan laju resistensi dalam beberapa dekade terakhir, namun di sisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik (antimikroba) baru berjalan sangat lambat. "Para ahli di dunia memprediksi bahwa jika masyarakat global tidak melakukan sesuatu dalam mengendalikan laju resistensi ini, maka AMR akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia pada tahun 2050, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun, dan kematian tertinggi terjadi di kawasan ASIA," ungkapnya.

I Ketut berpendapat, bahaya resistensi antimikroba erat kaitannya dengan perilaku pencegahan dan pengobatan, dan sistem keamanan produksi pangan dan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan One Health yang melibatkan sektor kesehatan, pertanian (termasuk peternakan dan kesehatan hewan) serta lingkungan.

Penanganan AMR membutuhkan pendekatan yang multi dimensi, multi faktor, dan multi stakeholder. Untuk itu, Kementerian Pertanian telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Pertahanan dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional penanggulangan AMR.

"Ini bagian dari upaya pemerintah untuk mengatasi kompleksitas dalam mengendalikan masalah resistensi antimikroba dengan pendekatan One Health," jelasnya. Selain itu, Pemerintah juga telah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan atau growth promoter mulai 1 Januari 2018, yang mengacu pada amanat UU No. 41 tahun 2014 Jo. UU no 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan.

Kementan juga telah memulai surveilans AMR di Jawa Barat, Banten dan Jabodetabek, termasuk melakukan pilot survey penggunaan antimikroba di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada 360 peternak ayam daging. Sejak tahun lalu, Kementan dan pemangku kepentingan lainnya telah bekerjasama dengan Badan Pangan dan Pertanian dunia (FAO of the United Nations) dan pihak donor lainnya melakukan kampanye bahaya AMR.

Fokus utama kampanye FAO melalui FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (FAO ECTAD) yaitu untuk memperkuat kapasitas di sektor kesehatan hewan, mendukung dan bekerja bersama dengan sektor kesehatan manusia dan lingkungan. Ketut mengungkapkan, dalam industri peternakan, salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penggunaan antimikroba yaitu dengan menerapkan praktik-praktik manajemen yang baik, sebagai aktifitas pencegahan untuk mengurangi risiko penyakit infeksi.

"Selain memperbaiki manajemen pemeliharaan, peternak juga perlu menerapkan prinsip-prinsip animal welfare, biosecurity dan treacibility," kata I Ketut Diarmita, MP. "Untuk itu, kita perlu modernisasi supply chain from farm to table."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement