REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oleh Erdy Nasrul
Ani Puspitasari (22 tahun) tak kuasa menahan tangis. Di depan rumah kayu tempat tinggalnya, dia menyeka air mata yang membasahi pipi. Kesedihan itu tak tertahankan, karena dia kembali mengingat almarhum suaminya Heri Sunandar (28).
Beberapa hari sebelum tewas, Heri sempat menelpon Ani mengabarkan kondisinya yang baik-baik saja. Keduanya melepas kerinduan melalui pembicaraan singkat dengan menanyakan aktivitas masing-masing. Canda-tawa sempat mewarnai pembicaraan mereka.
Tak hanya Ani, anak mereka Zahra Nuraini juga merindukan Heri. "Ayah pulang...Ayah pulang," teriak bocah berusia 2,5 tahun itu dengan suara kecilnya.
Heri pun meyakinkan putri satu-satunya itu, bahwa dia akan pulang dan bermain bersama di kampung nan hijau. Permintaan sang anak menjadi kenyataan. Ayahnya kembali ke rumah, tapi dalam keadaan terbujur kaku.
Heri tewas karena mengalami kecelakaan kerja dalam proyek pembangunan jalan tol Pasuruan-Probolinggo pada Ahad (29/10) pukul 09.45 WIB. Semenjak itu, tak ada lagi kesempatan Zahra untuk berpelukan, bercanda, dan bermain dengan ayah sang idola.
Setelah menjalani perawatan di rumah sakit umum daerah (RSUD) Pasuruan Jawa Timur, petugas mekanik itu kembali ke kampung halamannya Desa Sidomulyo Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Setelah tiba, jenazah langsung dimakamkan di sana sepekan lalu.
Di hadapan rombongan pegawai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK), Ani yang berprofesi ibu rumah tangga tersebut tak bisa berkata banyak. Sesekali dia menganggukkan kepala memberi isyarat positif sebagai respon terhadap ucapan para tamu. "Terima kasih," kata Ani yang mengenakan jilbab merah muda.
Dua kata itu dia tujukan kepada rombongan yang dipimpin Direktur Pelayanan BPJS TK Krishna Syarif. "Kami ikut berbela sungkawa. Santunan sebesar Rp 233 juta atau 48 kali gaji almarhum kami berikan untuk kelangsungan hidup keluarga yang ditinggalkan," kata Krishna.
Sesuai ketentuan, ahli waris dalam kasus kecelakaan kerja hingga meninggal dunia akan diberikan santunan sebesar 48 kali upah yang dilaporkan. Jika mengalami luka-luka, maka biaya perawatan akan ditanggung sampai pulih.
"Kami memahami bahwa kehilangan kepala keluarga tercinta tak dapat digantikan apa pun. Santunan ini hanyalah bentuk kepedulian negara agar ahli waris tidak mengalami kesulitan hidup dan tetap dapat mengembangkan diri," jelas Krishna kepada Ani dan kerabatnya.
Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan periode Januari-September, sebanyak 86 ribu kasus kecelakaan kerja telah terjadi. Rinciannya, 53 ribu atau 60 persen terjadi di lingkungan kerja, 23 ribu atau 27 persen terjadi pada kecelakaan kerja lalu lintas, dan 11 ribu atau 13 persen terjadi di luar lingkungan kerja.
Apa yang dialami Heri dan ahli warisnya adalah ibrah bahwa setiap pekerja harus memperhatikan jaminan sosial. Pekerja harus terlindungi, sehingga jika mengalami kecelakaan kerja, mereka mendapatkan perawatan yang baik dan keluarga tidak dibebani biaya pengobatan.
Krishna mengimbau seluruh pengusaha dan pekerja, baik penerima upah maupun bukan penerima upah, untuk memberikan perlindungan dengan jaminan sosial kepada seluruh pekerjanya.
Berdasarkan regulasi, jika pekerja tidak terdaftar, kemudian mengalami kecelakaan kerja, maka perusahaan wajib memberikan pengobatan dan santunan. Jumlah minimalnya sesuai dengan standar BPJS Ketenagakerjaan. "Dua pembiayaan itu pasti berat, bahkan bisa mengganggu uang kas perusahaan. Agar hal itu tidak terjadi, maka segera pastikan pekerja sudah terdaftar di kami," ujar Krishna.
Dia berpesan kepada perusahaan agar tidak menganggap iuran BPJS TK sebagai beban. Pembayaran tersebut harus dipertimbangkan sebagai perlindungan untuk menjaga stabilitas perusahaan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja.