Sabtu 11 Nov 2017 07:05 WIB

Menghapus Noda Sampah di Kampung Bajo

Masyarakat sedang membersihkan kawasan pesisir Kampung Bajo di Kabupaten Wakatobi saat acara Gerakan Bersih Pantai dan Laut (GBPL), Kamis (9/11).
Foto: Muhammad Hafil/Republika
Masyarakat sedang membersihkan kawasan pesisir Kampung Bajo di Kabupaten Wakatobi saat acara Gerakan Bersih Pantai dan Laut (GBPL), Kamis (9/11).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Hafil/Wartawan Republika.co.id

 

Air laut pada Kamis (9/11) siang di pesisir pantai Desa Mola Samaturu, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, bergerak tenang. Warnanya biru muda di sekitar dermaga dan jernih seperti air sungai di permukiman. Di atas air laut itu memang berdiri rumah-rumah panggung dan sebagian rumah beton. Permukiman itu bernama Kampung Bajo, tempat berdiamnya suku Bajo yang terkenal sebagai pelaut.

Namun, saking jernih dan birunya air laut itu, sampah plastik maupun logam sangat mudah terlihat. Pemandangan yang kontras dengan potensi keindahan alam air laut di Kampung Bajo.  Bahkan, ada sampah botol minuman, botol kaleng, karung, dan macam sampah lainnya yang mengumpul di sejumlah titik.

Pada saat itu, terlihat seorang warga dari balik jendela membuang bungkus mi kemasan ke bawah rumahnya yang dialiri air laut.  Ini menjadi pemandangan yang memilukan di tempat perkampungan yang memiliki sumber daya alam air yang sangat indah.

Di mana, sampah-sampah itu dikabarkan mengalir ke wilayah Taman Nasional Wakatobi. Hal ini terasa sangat merugikan mengingat Wakatobi memiliki 25 buah gugusan terumbu karang dengan keliling pantai dari pulau-pulau karang sepanjang 600 km. Lebih dari 112 jenis karang dan 93 jenis ikan hias bernilai ekonomi tinggi, serta beberapa jenis penyu dan fauna.  Wakatobi merupakan taman nasional laut yang terkenal di dunia karena kekayaan terumbu karangnya.

Kepala Dusun Bahari, Desa Mola Samaturu, Ma Piara, kepada Republika.co.id menceritakan, perilaku masyarakat di Kampung Bajo, yang membuat sampah sembarang ke laut sudah berlangsung lama. Seingat dia, perilaku itu mulai terjadi pada akhir 90-an. “Dulu kalau era 80-an, jika ada orang yang sariawan, langsung menyebur saja ke laut di bawah rumahnya langsung sembuh. Tetapi sekarang, kita baru nyebur sebentar badan langsung gatal-gatal,” kata Ma Piara.

Ada beberapa hal yang menyebabkan perilaku masyarakat itu. Di antaranya, perilaku yang sudah menjadi kebiasaan, warga tidak memiliki tong sampah di depan rumahnya, dan sulitnya petugas kebersihan dari pemerintah daerah yang menjangkau perkampungan terapung itu. Bupati Wakatobi, Arhawi, tak menyanggah soal masalah sampah di Wakatobi. “Masyarakatnya terbiasa dengan pola hidup yang lama,” kata Arhawi.

Namun, dia berjanji untuk tidak menyerah mengatasi masalah sampah di Wakatobi ini. Mengingat, 70 persen wilayah Wakatobi adalah perairan laut. Karena itulah, para pemangku kepentingan terkait, baik dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wakatobi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan masyarakat berupaya untuk menghentikan perilaku warga yang membuang sampah ke laut.

Sebuah aksi yang dinamakan Gerakan Bersih Pantai dan Laut (GBPL) yang digagas oleh KKP digelar pada Kamis (9/11) di pesisir pantai dan perkampungan Kampung Bajo tersebut. Sebanyak 400 warga Desa Mola Selatan, Desa Mola Utara, Desa Mola Bahari, Desa Samaturu, dan Desa Nelayan Bhakti di Kabupaten Wakatobi, Kendari, Sulawesi Tenggara, melakukan aksi bersih pantai dan laut. Tidak hanya warga,  para siswa, mahasiswa, satuan kerja perangkat daerah (SKPD), dan elemen TNI/ Polri itu juga dilibatkan untuk acara tersebut.

“Jangka pendek kegiatan ini adalah menjadikan pantai bebas sampah dan jangka panjangnya menjadi edukasi bagi semua pihak agar menjaga dan merawat pantai supaya pantai dan laut bersih sehingga ikan berlimpah dan masyarakat sejahtera,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, Jalaludin.

Dalam kegiatan itu, terlihat masyarakat saling bahu membahu mengangkat sampah plastik yang mengapung di atas permukaan air dan sampah logam yang sudah mengendap di dasar air. Mereka mengangkutnya dengan serokan yang biasa digunakan untuk menjaring ikan. Belum ada kabar berapa sampah yang diangkut pada hari itu.

Namun, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP Balok Budiyanto mengatakan, sampah-sampah yang terangkut dari pesisir pantai yang mencakup lima desa itu bisa dimanfaatkan dengan cara didaur ulang. Di antaranya biji plastik, berbagai macam kerajinan tangan seperti hiasan dinding, dan untuk bahan pencampuran aspal dengan plastik. “Jadi, sampah-sampah yang terkumpul bisa dikelola nantinya agar bisa memberikan manfaat secara ekonomi,” kata Balok.

Ditanya soal masalah sampah di kawasan pesisir, Balok mengatakan, masyarakat perlu terus diberikan edukasi agar tidak lagi membuang sampah di laut dan pantai. Karena, 60 persen masyarakat Indonesia tinggal di pesisir. “Jadi, kawasan laut, pesisir, dan pantai wajib dijaga,” kata Balok.

Sedangkan, kondisi saat ini menunjukkan, Indonesia menempati posisi kedua dalam negara-negara yang perairannya mengalami pencemaran. Di mana, pencemaran didominasi oleh banyaknya sampah, yakni mencapai 1,29 juta metrik ton per tahun setelah Cina yang mencapai 3,53 juta metrik ton/tahun.

Karena itulah, GBPL yang merupakan bagian dari program Gerakan Cinta Laut (Gita Laut) perlu dilakukan untuk mengatasi masalah sampah dan menjadikan laut bersih. “Laut merupakan sumber penghasilan masyarakat Indonesia. Jika lautnya sehat, ikannya melimpah dan masyarakat ikut sejahtera,” kata Balok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement