REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menegaskan tak ada kenaikan iuran, meski mengalami defisit. Defisit BPJS Kesehatan tak terlepas dari pemangkasan iuran.
"Peserta tidak akan mengalami kenaikan meski mengalami defisit kata Asisten Deputi wilayah SDM, Umum dan Komunikasi Publik Deputi Wilayah Jabodetabek, Basuki saat petemuan media kedeputian wilayah Jabodetabek di Hotel Bumi Wiyata, Kota Depok, Jumat (10/11)
Basuki menuturkan defisit tetap terjadi meskipun sudah 100 persen penduduk di Indonesia tercakup BPJS Kesehatan. Untuk itu, masyarakat tidak perlu khawatir karena semua masih ditanggung oleh pemerintah. "Iuran yang sekarang dibayarkan masyarakat memang belum sesuai dengan aktuaria hitungan pelayanan kesehatan yang sebenarnya. Iuran saat ini masih bersadarkan dari kemampuan masyarakat," jelasnya.
Menurut Basuki, penyebab utama defisit adalah adanya pemangkasan pembayaran iuran untuk pasien kelas dua dan tiga yang ditetapkan pemerintah.
Untuk pasien kelas tiga misalnya, dari iuran yang seharusnya Rp 53 ribu, dipangkas menjadi Rp 25.500. Sedangkan pasien kelas dua dari iuran yang seharusnya Rp 63 ribu, dipangkas menjadi Rp 51 ribu.
"Jadi setiap pasien kelas tiga datang, ada minus Rp 27.500. Sedangkan pasien kelas dua ada minus Rp 12 ribu. Sudah ada regulasi yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 yang menyebut bahwa pendapatan BPJS berasal dari iuran dan bantuan pemerintah," tutur Basuki.
Dia menegaskan tidak ada kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia Sehat JKN-KIS. Bagi peserta maupun masyarakat yang belum mendaftarkan diri akan tetap dikenakan iuran seperti biasa.
"Jadi masyarakat tidak perlu cemas. Pemerintah yang punya wewenang menaikan iuran BPJS dan BPJS Kesehatan hanya memiliki hak untuk mendata peserta, jenis penyakit, rumah sakit dan jumlah klaim," ujar Basuki.