Kamis 09 Nov 2017 05:15 WIB

Belajar dari Koh Ilung Kendalikan Penggunaan Antimikroba

Robby Susanto pemilik Reena Farm, peternakan ayam di Desa Jatisari , Kelurahan Sedayu, Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Robby Susanto pemilik Reena Farm, peternakan ayam di Desa Jatisari , Kelurahan Sedayu, Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID,  "Saya pernah mengalami 'jatuh' dalam usaha peternakan ayam petelur pada 2009, dan kerugiaannya mencapai Rp 800 juta hingga Rp 1 miliar. Pengalaman itulah yang memicu untuk bisa bangkit kembali dan tidak mengulang kesalahan," kata "Koh Ilung" (40).

Bercerita tentang pengalaman pahitnya dalam usaha yang sampai kini terus ditekuninya itu, Bambang Sutrisno --yang akrab dipanggil "Koh Ilung"-- menampakkan rona kesedihan di wajahnya mengingat peristiwa lama itu.

Saat itu, akibat penyakit yang diduga Newcastle Disease (ND) atau dikenal dengan penyakit tetelo atau bahkan flu burung (avian influenza/AI), belasan ribu ayam miliknya mati. "Dari belasan kandang ayam mati, yang tersisa hidup hanya dua kandang saja," katanya.

Dengan tekad kuat ingin memperbaiki kesalahan, maka pemilik "Waringin Farm" di Desa Getasan, Kecamatan Kopeng, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah itu, kepada sejumlah wartawan dan wakil dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) serta dari Pusat Darurat Untuk Penyakit Hewan Lintas Batas (Emergency Centre Fot Transboundary Animal Diseases) Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang berkunjung pada Senin (7/11) menceritakan upaya untuk bangkit dan memulai memperbaiki dalam mengelola peternakan ayamnya.

Kunjungan itu adalah bagian dari rangkaian kegiatan "Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia" (World Antibiotic Awareness Week), yang pada 2017 diperingati selama 13-19 November. Ikhtiar "Koh Ilung", selain tekad untuk memperbaiki kesalahan, adalah mencari informasi sebanyak mungkin sekaligus belajar dari peternak lainnya yang tidak mengalami seperti kasus yang menimpanya.

"Waringin Farm" adalah usaha peternakan skala kecil-menengah yang dimulai sejak 2000 dengan populasi ayam petelur sebanyak 25 ribu ekor. Dengan rata-rata produksi telur sebanyak 55 kg per 1.000 ekor dan mempekerjakan karyawan lebih kurang 60 orang yang didominasi kaum perempuan, saat ini peternakan tersebut memasok produksi ke Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga.

Singkat cerita, sampailah "Koh Ilungh" kemudian bertemu dan berguru pada seniornya yang masih berada di Provinsi Jateng, yakni Robby Susanto (50), pemilik "Reena Farm", sebuah peternakan ayam petelur di Desa Sedayu, Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar. Melalui Robby-lah, ia kemudian "bersentuhan" dengan FAO sampai saat ini

Sekuriti 3 zona

Sebelum belajar kepada Robby Susanto, ia sebenarnya sudah pernah mendengar informasi mengenai adanya program pemerintah melalui Dinas Peternakan terkait dengan apa yang belakangan diketahuinya sebagai "Biosekuriti 3 Zona". Tatkala Dinas Peternakan Kabupaten Semarang menginformasikan ada program mengenai biosekuriti, dirinya langsung mendaftar untuk bisa mengikuti pelatihan.

Akhirnya, dengan mengikuti pelatihan dari petugas Pelayanan Veteriner Unggas Komersial (PVUK) Dinas Peternakan, peternakan yang dikelolanya kini hampir tidak pernah mengalami permasalahan berarti, terkait dengan serangan penyakit pada unggas. PVUK terdiri atas dokter hewan dan sarjana peternakan yang ada pada Dinas Peternakan di sejumlah daerah di Indonesia yang mendapatkan pelatihan khusus mengenai "Biosekuriti 3 Zona" dari FAO.

Disela mengunjungi "Waringin Farm", penasihat teknis nasional bidang pengembangan kapasitas unggas komersial FAO ECTAD Alfred Kompudu menjelaskan pihaknya telah memberikan pelatihan kepada 143 petugas Pelayanan Veteriner Unggas Komersial (PVUK) dari 12 provinsi, 50 kabupaten/kota terkait dengan "Biosekuriti 3 Zona".

Petugas PVUK itu adalah dokter hewan dan sarjana peternakan yang ada di Dinas Peternakan, sedangkan dari kalangan peternak, pembinaan sudah dilakukan kepada 8.500 peserta mulai 2001 hingga 2015. Target dari pelatihan dan pembinaan itu, harus ada perbaikan biosekuriti dan alih pengetahuan sampai tingkat peternak.

Lalu, apa sejatinya program "sekuriti 3 zona" itu?

Sejawat Alfred, yang juga penasihat teknis nasional bidang kesehatan unggas komersial FAO ECTAD Erry Setyawan merinci bahwa meski secara peristilahan program itu, mungkin saja bagi peternak tidak mudah dipahami, namun secara prinsip adalah berkaitan dengan bagaimana mengelola peternakan secara bersih dan sehat.

"Biosekuriti 3 Zona", kata dia, merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah kuman, seperti virus, bakteri, jamur, dan parasit, masuk dan menginfeksi peternakan.

Dokter hewan alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu, menjelaskan, penerapan biosekuriti pada seluruh sektor peternakan, baik di industri perunggasan maupun peternakan lainnya, akan mengurangi risiko penyebaran mikroorganisme penyebab penyakit yang mengancam sektor tersebut.

Biosekuriti bukan satu-satunya upaya pencegahan terhadap serangan penyakit, namun merupakan garis pertahanan pertama terhadap penyakit. Biosekuriti sangat penting untuk mengendalikan dan mencegah berbagai penyakit mematikan dan yang berdampak buruk bagi produktivitas peternakan.

"Jadi, biosekuriti itu maknanya luas. Bukan sekadar ketika masuk kandang disemprot desinfektan, cuci kaki, tangan, dan mengganti alas kaki saja. Itu hanya bagian saja dan ada prosedurnya," katanya.

Program biosekuriti meliputi tiga elemen untuk mengendalikan faktor risiko dari orang, benda dan hewan (OBH), yakni dengan melakukan isolasi, kontrol pergerakan dan sanitasi (pembersihan dan desinfeksi), sedangkan vaksinasi dilakukan untuk meningkatkan sistem kekebalan (imunitas) ternak.

Langkah-langkah pelaksanaan "Biosekuriti 3 Zona" pada peternakan unggas terbagi dalam tiga area, yakni "zona merah" (kotor), "zona kuning" (transisi), dan "zona hijau" (bersih). Pada "zona merah" maka Standar Operasional Prosedur (SOP)-nya sebelum memasuki area tersebut, siapapun harus mengganti alas kaki dan mencuci tangan terlebih dulu.

Kemudian, pada "zona kuning", harus memakai baju khusus selama di peternakan, dan ketika masuk "zona hijau", yang merupakan area terbatas, diwajibkan mengganti kembali alas kaki.

Di peternakan milik Robby Susanto di Kabupaten Karanganyar, untuk masuk "zona kuning" pun --kecuali pekerja dan karyawan yang sudah mengikuti SOP-- siapapun orang dari luar yang masuk diharuskan mandi lagi untuk menjaga benar-benar tidak ada kontaminasi dari luar zona.

Alami perbaikan

Berbekal dari program "Biosekuriti 3 Zona" yang dikenalkan FAO bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, dari pengalaman di peternakan "Koh Ilung" maupun Robby Susanto, hasil yang diperoleh adalah adanya perbaikan, baik dalam aspek kesehatan unggas maupun tingkat produksi pada ternak mereka.

Keduanya mengakui, bahwa ayam di peternakan mereka --setelah mengimplemenastikan praktik-praktik menajemen peternakan yang baik dengan "Biosekuriti 3 Zona" -- kini sudah tidak pernah lagi mengalami kejadian kematian yang berarti.

Paling tinggi angka kasus kematian, sebagaimana disebut "Koh Ilung", tidak sampai lima persen, sedangkan penggunaan antibiotik pun menurun hingga 40 persen dibandingkan dengan sebelum memakai biosekuriti. Dengan demikian, kondisi itu dapat menekan biaya dan menguntungkan dari sisi ekonomi.

Ia bahkan menyebut selama dua tahun terakhir, bisa memberikan bonus untuk para karyawannya secara ganda, yakni bonus untuk kinerja perorangan bagi yang sesuai target dan bonus bagi tim.

Robby Susanto pun --dengan 50 ribu ekor ayam yang rata-rata produksi telur 55 kg per 1.00 ekor-- juga mengalami penurunan pemakaian antibiotik itu sehingga berpengaruh pada peningkatan produksi telur karena ayamnya selalu dalam kondisi sehat.

Terkait dengan penggunaan agen antimikroba, yang salah satunya antibiotik yang tidak tepat, menurut Kepala Seksi Mutu dan Obat Hewan Ditjen PKH Kementan Dameria Melany Elizabeth P dengan penerapan biosekuriti, pemangku kepentingan peternakan unggas telah merasakan manfaatnya.

"Memang tidak mungkin 'zero' penggunaan antibiotik, namun prinsipya harus dilakukan dengan bijak," katanya.

Tidak sekadar bijak, dua sejawatnya dari Kementan, yakni drh Fety Nurrachmawati dari Medik Veteriner Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen PKH dan drh Erna Rahmawati Fitriastuti dari Ditjen PKH, menambahkan perlunya unsur bertanggung jawab di dalamnya.

"Jadi, bijak dan juga harus bertanggung jawab," kata Fety Nurrachmawati alumnus Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Menurut Meita Annisa dari FAO ECTAD Indonesia, bersama dengan Kementan saat ini sedang dilakukan kampanye dengan tema besar "Bijak Pakai Antibiotik". Alasannya, penggunaan pengggunaan agen antimikroba, di antaranya antibiotik yang tidak tepat, kian meresahkan.

Tidak hanya menimbulkan ancaman kesehatan global yang signifikan terhadap populasi di seluruh dunia, kesalahan penggunaan antimikroba yang berujung pada Resistensi Antimikroba atau Antimicrobial Resistance (AMR) juga dapat menyebabkan peningkatkan kemiskinan ekstrem dan memberikan dampak yang tidak proporsional terhadap ekonomi negara-negara berpenghasilan rendah.

Jika tidak ada upaya pengendalian global, maka pada 2050 diperkirakan AMR akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia, dengan angka kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun dan angka kejadian tertinggi diperkirakan terjadi di Asia.

Kondisi tersebut mendorong FAO melakukan kampanye aktif akan bahaya resistensi antimikroba, salah satunya melalui perayaan tahunan "Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia".

Bersama dengan Kementan dan pemangku kepentingan lainnya, fokus utama kampanye FAO, melalui FAO ECTAD adalah dengan memperkuat kapasitas di sektor kesehatan hewan, mendukung dan bekerja bersama dengan sektor lain, yakni kesehatan manusia dan lingkungan.

Kerja sama multisektor dalam menangani masalah kesehatan ini disebut sebagai pendekatan "One Health", yakni upaya kolaborasi praktisi kesehatan, yakni dokter hewan, dokter manusia, petugas kesehatan masyarakat, ahli epidemiologi, ahli ekologi dan lainnya dengan lembaga terkait untuk mencapai kesehatan optimal bagi masyarakat, pertanian dan hewan, satwa liar dan lingkungan.

Pendekatannya menitikberatkan permasalahan yang memengaruhi kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan, yang dapat dipecahkan secara efektif melalui kerja sama lintas sektor di mana seluruh pemangku kepentingan dari sektor dan disiplin ilmu yang berbeda turut serta dalam proses pemecahan masalah.

Kolaborasi itu kini sedang dan terus dibangun, serta menunjukkan hasil positif, dengan salah satunya adalah pengalaman dari praktik terbaik (best practice) dari "Koh Ilung".

Harapannya, praktik terbaik itu bisa ditularkan kepada peternak-peternak unggas dan ayam lainnya, khususnya pada skala desa dan rakyat, yang justru membutuhkan bantuan bagi tujuan mencapai kesehatan hewan dan manusia, serta peningkatan kesejahteraan ekonomi mereka.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement