Rabu 08 Nov 2017 19:55 WIB

Polemik UGM dan Pintu Pengembangan Ilmu Pengetahuan

UGM
UGM

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wisnu Al Amin*

Tulisan ini sebagai respons terhadap tulisan Tuan Rizal Mallarangeng yang berjudul “Kontroversi di UGM: What’s Wrong With That?”. 

Saya ingin mengawali dengan rasa hormat, karena beliau adalah senior saya di Kafispolgama (Keluarga Alumni Fisipol UGM). Saya mendapatkan tulisan tersebut di grup WA Shalahuddin UGM generasi muda. Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya akan menggunakan perspektif lain dalam kontroversi penerimaan mahasiswa baru UGM. Bahkan persoalan ini menjadi isu hangat di lingkaran keluarga besar Universitas Gadjah Mada khususnya.

Saya mulai dengan melihat potret UGM. Publik bersepakat kalau kampus tersebut sebagai Kampus Nasional. Universitas yang memiliki visi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Karena itu suasana sosialnya harus dibangun berdasarkan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Sehingga tidak boleh UGM berpihak kepada satu golongan baik ras, suku maupun agama tertentu. 

Lebih dari itu, Ia juga menjadi lembaga pendidikan. Orientasinya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dimensi-dimensi tersebut yang dapat dijadikan alasan untuk rekayasa sumber daya manusia di UGM. Sehingga kalau menggunakan kaca mata kebijakan, ada yang disebut input – process – output. Kaidah tersebut sebagai pisau analisa dalam tulisan ini.

Polemik penerimaan mahasiswa berdasarkan Seni Baca dan Hafalan Kitab Suci. Mari tidak memandangnya secara normatif. Kalau yang menjadi parameter hanya Seni Baca dan Hafalannya semata, banyak pihak juga berat untuk mengatakan sepakat. Artinya, Seni Baca dan Hafalan tersebut baru membuka pintu pertama agar menjadi mahasiswa UGM. Sedangkan pintu kedua selayaknya ada pengukuran kemampuan akademik. Hal ini supaya mahasiswa tersebut dapat mengikuti proses belajar di masing-masing fakultas. 

Terakhir adalah pengukuran potensi akademik untuk melihat daya nalarnya serta psikologisnya. Tiga pintu itulah yang harus dilalui sebelum secara resmi menjadi mahasiswa di Kampus Biru. Oleh karena itu, kriteria Seni Baca dan Hafalan disikapi sebagai instrumen pemberian kesempatan bagi mereka yang memiliki bakat dan prestasi di bidang terkait.

Masalahnya adalah apakah hal tersebut menunjukkan keberpihakan pada agama tertentu? Jawaban konvensionalnya adalah iya, karena yang dimaksud adalah agama Islam. Tapi jawaban kritisnya belum tentu, karena ada faktor-faktor agar melihatnya lebih luas. Apabila dilihat dari cara pandang kedua, sesungguhnya kampus negeri semisal UGM, UI,  ITB, IPB boleh jadi membutuhkan mahasiswa yang memiliki skill dan prestasi di bidang Kitab Suci—Alquran. 

Ada klise yang saya dapatkan ketika dahulu sedang berada di Direktorat Kemahasiswaan, “Kalau UGM Juara PIMNAS itu biasa, tapi kalau UGM juara MTQ itu yang luar biasa”. Maksudnya, bahwa salah satu kompetisi yang diselenggarakan oleh DIKTI secara kontinu adalah MTQ MN. 

Tidak dipungkiri, lima kampus terbaik di Indonesia juga berhasrat menjadi yang terbaik di ajang perebutan prestasi tersebut. Apalagi kualitas universitas salah satunya diukur berdasarkan record prestasinya. Ini adalah aksioma. Dengan demikian, boleh jadi adanya  mahasiswa yang memiliki keahlian di bidang Alquran dapat menjadi salah satu kekuatan strategis UGM. Inilah dimensi input sumber daya manusia yang harus diletakkan secara bijak.

Berkaitan dengan input dan proses saya akan mengaitkan dengan potensi UGM menjadi Kampus Strategis dalam pengembangan keilmuan. Di UGM ada Madzab Bulaksumur. Sebuah gaya pemikiran yang khas terlahir dari intelek-intelek UGM dalam menyoroti persoalan ekonomi dan agraria utamanya. Penggeraknya ada Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, Mubyarto, dan lainnya. 

Di dalam dunia universitas ini adalah prestasi yang melebihi prestise kompetisi-kompetisi. Dalam dinamika keilmuan di Kampus Pancasila, ada sosok Kuntowijoyo. Salah satu intelektual yang berhasil memberikan sumbangsih pemikiran di lingkungan akademis UGM. Gagasannya adalah Islam Sebagai Ilmu melalui Ilmu Sosial Profetik. Pak Kunto telah meletakkan batu Paradigma Keilmuan di Universitas Gadjah Mada. Oleh karenanya, gagasan ini menjadi potensi besar untuk dikembangkan ke depan. 

Bersyukurnya, gagasan Pak Kunto ini tidak ditelan zaman. Karena ada Pak Heddy Shri Ahimsa-Putra, dkk yang turut melanjutkan gagasan ini. Beliau mengembangkan ke arah yang lebih paragdimatik dan operasional. Sehingga kini dikenal dengan Paradigma Profetik Islam. Apakah hal tersebut menunjukkan UGM terjebak dengan gaya keagamaan? atau UGM perlu juga mengembangkan gagasan serupa dari agama lain? 

Yang pertama, terlalu naif jika memandangnya demikian. Yang kedua, selama itu dalam koridor pengembangan keilmuan saya pikir apa salahnya UGM mempersilahkan. Selama hal tersebut dapat ditarik ke dalam dimensi epistemologis dan metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan di dunia akademis. 

Pengembangan keilmuan seperti itulah yang sebenarnya perlu dihidupkan dan dilestarikan oleh Kampus Kerakyatan. Agar Ia memiliki pisau analisa sendiri yang dirumuskan di rumah sendiri. Jangan sampai menjadi “kampus pak turut” atau “kampus pengekor”. Bukankah ini yang kita saksikan di kampus-kampus terbaik di dunia?

Bukankah Soekarno juga berpesan, “Gadjah Mada adalah mata airmu, Gadjah Mada adalah sumber airmu, tinggalkanlah kelak Gadjah Mada ini bukan untuk mati tergenang dalam rawanya ketiadaan amalan atau rawanya kemuktian diri sendiri. Tetapi mengalirlah ke laut, tujulah ke laut, lautnya pengabdian kepada negara dan tanah air, yang berirama, bergelombang, bergelora”. 

Artinya, muara universitas ini adalah negara dan rakyat. Kalau kita mau bersikap objektif bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pengembangan Paradigma Profetik di dalam nuansa keilmuan Kampus Gadjah Mada tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa dan rakyat. Lantas apa kaitannya dengan penerimaan mahasiswa baru berdasar Seni Baca dan Hafalan Kitab Suci?

Sekali lagi, Seni Baca dan Hafalan Kitab Suci hanya pembuka pintu pertama. Apabila ada calon mahasiswa yang berhasil membuka pintu kedua dan ketiga, maka ia menjadi input strategis bagi UGM untuk diproses agar menjadi kontributor mengembangkan salah satu nuansa keilmuan khas UGM, yakni Paradigma Profetik. Berdasarkan Paradigma ini, ayat-ayat Alquran sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis untuk diterjemahkan pada level yang objektif, bukan subjektif. Itu berarti Alquran harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis (Kuntowijoyo, 2006: 16). 

Lebih lanjut jelaslah kalau hubungan agama dan ilmu pengetahuan dapat ditarik ke arah yang lebih objektif. Dengan demikian, berdasarkan paradigma ini juga nantinya bukan hanya orang muslim saja yang dapat mengaplikasikannya. Orang di luar Islam sangat mungkin menggunakannya. 

Toh, nyatanya dimanakah kita menemukan ada masyarakat muslim yang melarang orang di luarnya untuk membuka dan mempelajari Alquran? Oleh karena itu, dalam konteks UGM terlalu sederhana jika kita memandang penerimaan mahasiswa berdasarkan seni baca dan hafalan sebagai bentuk kebijakan yang pro-Islam, tidak adil terhadap umat-umat beragama, bahkan bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Sebab, persoalannya UGM punya proyek Paradigma Ilmu yang bersifat futuristik. Siapa menyangka 10-20 tahun ke depan Paradigma Profetik dari UGM ini diperbincangkan di Internasional bahkan diterapkan di kampus-kampus terbaik dunia.

Maka dari itu, saya memandang argumen mengenai agama dan ilmu sebagai dua elemen kehidupan yang masing-masing memiliki sifat dan cara pandangnya sendiri (sebagaimana dalam tulisan Tuan Rizal Mallarangeng) bertentangan dengan kehidupan keindonesiaan. Argumen tersebut akan benar jika masyarakatnya adalah masyarakat yang anti-agama, seperti di Barat.  

Faktanya, falsafah negara Indonesia ditopang oleh worldview agamis. Dalam hal ini, kalau yang menjadi sorotannya adalah Islam. Maka kita harus melihat Islam itu sendiri secara objektif. Islam terdiri dari unsur Tsawabit (tetap) dan Mutaghayyirat (fleksibel). Pertama adalah perkara mengenai ibadah atau yang langsung berhubungan dengan Tuhan. Kedua adalah muamalah atau yang berhubungan dengan umat manusia. Ilmu pengetahuan (sains) letaknya di ruang kedua. Dengan ini, agama dan ilmu tidak bertentangan.

Saya tidak tahu bagaimana di dalam agama lain. Saya tidak memiliki hak ataupun otoritas untuk berpendapat karena saya tidak menganut agama selain Islam. Konkretnya, dalam nilai-nilai saintifik kita dilarang memanipulasi data. kita harus objektif terhadap realitas empiris. Justru dalam kaca mata agama tercela kalau mengaburkan data dan fakta. 

Tragedi Saintis yang dialami Galileo Galilei (1546-1642), Nicolaus Copernicus (1473-1543) dan Giodano Bruno (1548-1600), kalau dipandang secara objektif maka agamanya itulah yang salah. Lantas bagaimana jika agamanya yang benar? Apakah tragedi serupa terjadi? Dengan demikian, dimanakah kita dapati sifat dan cara pandang ilmu pengetahuan dan agama yang bertentangan. Kalau kita melihat universitas-universitas di Eropa bisa maju karena menanggalkan agama di ruang publik. Kemudian mereka ilmu bertumbuh secara pesat. Mungkinkah UGM, membuat mainstream pembaharuan wacana dan realisasi, kalau ilmu pengetahuan juga bisa berkembang pesat bersama dimensi religiusitas-moralitas?

Oleh karena itulah, penerimaan mahasiswa berdasarkan seni baca dan hafalan dalam dalam konteks UGM perlu disikapi secara komprehensif, strategis dan futuristik. Karena UGM pun punya prinsip melahirkan sumber daya manusia yang bermutu. Inilah outputnya. Barangkali prosedur seleksi tersebut dapat menjadi komponen tambahan menciptakan output yang berkualitas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Bahkan bukan hanya manusianya, tetapi juga paradigma-paradigma ilmu pengetahuan yang dapat mencerahkan khalayak umum. Maka, inilah sesungguhnya cita-cita agung sebagai universitas nasional. Pandangannya tidak melihat perbedaan sebagai sumber konflik, melainkan sumber potensi untuk pengembangan dan pengabdian.

Penutup, pernyataan seorang Saintis sekaligus Astronom Amerika Serikat Carl Edward Sagan layak menjadi refleksi “Science is not perfect. It can be misused. It is only a tool. But it is by far the best tool we have, self-correcting, ongoing, applicable to everthing”. 

Perjalanan ilmu pengetahuan di Indonesia masih akan menyusuri jalan panjangnya. Universitas-universitasnya menjadi pengemudinya. Bahaya besar ketika kemajuan ilmu  pengetahuan di Indonesia terlepas dari falsafah hidup manusia Indonesia berdasar Pancasila dan UUD 1945. Semoga universitas-universitas tersebut dapat berpikir ulang terhadap relasi strategis sains—manusia—agama—negara. 

*Keluarga Alumni Jamaah Shalahuddin UGM

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement