Kamis 09 Nov 2017 00:30 WIB

Langkah Berani Sang Putra Mahkota

 Mohammed bin Salman
Foto: alarabiya
Mohammed bin Salman

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh; Yon Machmudi PhD *)

Kebijakan-kebijakan Muhammad Bin Salman baru-baru ini cukup mengejutkan banyak kalangan. Peristiwa penangkapan 11 pangeran, termasuk di dalamnya Waleed bin Talal dan beberapa menteri dan mantan menteri Kerajaan Saudi tentunya bukan langkah yang biasa.

Banyak spekulasi dan rumor yang beredar berkaitan dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang mendadak dan langsung menargetkan orang-orang yang berpengaruh di kerajaan itu. Apakah ini murni upaya membersihkan kerajaan dari praktik-praktik korupsi?

Langkah-langkah terlalu "berani" yang dilakukan oleh Sang Putra Mahkota ini tentunya tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan banyak peristiwa. Sebelumnya aparat keamanan telah melakukan penangkapan besar-besaran terhadap kelompok masyarakat yang kritis dari kalangan ulama, intelektual, profesional dan pengusaha karena mempertanyakan kebijakan Saudi berperang di Yaman dan embargo terhadap Qatar.

Suara-suara kritis mereka di media sosial dianggap membahayakan stabilitas Negara. Tidak lama setelah penangkapan para pangeran dalam sebuah operasi melawan korupsi, publik dikejutkan dengan terbunuhnya Pangeran Mansour bin Muqrin, anak dari Muqrin bin Abdul Aziz, dalam sebuah kecelakaan pesawat di perbatasan Yaman (6/11) 2017.

Tidak lama setelah itu dikabarkan pula tewasnya Pangeran Abdul Aziz bin Fahd bin Abdul Aziz setelah terjadi baku tembak dengan aparat keamanan yang berusaha menangkapnya. Dalam waktu 24 jam, Kerajaan Arab Saudi telah kehilangan dua pangeran berpengaruh.

Diambang kebangkrutan?

Kondisi ekonomi Saudi yang tidak kunjung membaik karena menurunnya harga minyak telah mengancam stabilitas politik dan masa depan kerajaan. Bahkan diprediksi apabila tidak ada langkah-langkah serius yang dilakukan oleh kerajaan, maka Arab Saudi berpotensi mengalami kebangkrutan. Sejak tahun 2015 Saudi mengalami defisit anggaran dan terus berlanjut pada tahun 2016 dan 2017.

Guna mengatasi masalah ekonomi ini Saudi melancarkan program yang sangat ambisius yang disebut dengan Saudi Visi 2030. Diharapkan melalui program ini ketergantungan pendapatan negara terhadap sektor minyak bisa berkurang sampai 50 persen, bertambahnya lapangan pekerjaan baru terutama untuk pekerja wanita dan berjalannya reformasi bidang sosial ekonomi.

Tampaknya program penyelamatan ini belum menampakkan hasil yang memuaskan walaupun secara umum tren defisit mulai dapat dikurangi.

Keterlibatan Saudi dalam perang di Yaman yang tidak kunjung selesai semakin menambah beban keuangan kerajaan. Miskalkulasi Saudi memutuskan hubungan dan embargo terhadap Qatar telah menurunkan kepercayaan publik terhadap penguasa. Terlebih lagi saat ini Saudi mengajukan pinjaman sebesar 10 miliar dolar AS kepada IMF.

Sebuah kebijakan yang dianggap secara pelan-pelan akan semakin memperburuk ekonomi Saudi. Beberapa riset menyebutkan bahwa sebagian besar negara-negara Afrika, misalnya, yang dibantu oleh IMF justru berakhir dengan kondisi yang lebih tragis. Sementara itu sudah menjadi rahasia umum bahwa keuangan negara juga digunakan untuk membiayai gaya hidup mewah keluarga Istana.

Dalam kondisi seperti inilah, Muhammad bin Salman yang akan mewarisi tahta kerajaan berusaha melakukan langkah "berani" guna menyelamatkan masa depan kerajaan dan meningkatkan citra di mata publik. Salah satunya dengan melancarkan operasi pemberantasan korupsi dengan dalih meningkatkan efisiensi, tranparansi dan akuntabilitas.

Dampak dari operasi pemberantasan korupsi diharapkan akan menuai apresiasi dan dukungan publik. Dukungan publik sangat diperlukan oleh Kerajaan karena dalam waktu yang tidak terlalu lama dalam rangka menaikkan pendapatan negara dari sektor nonminyak, Kerajaan menerapkan pajak baru bagi keluarga Saudi sebesar 100 riyal dan juga memperkenalkan pajak penambahan nilai.

Di samping itu pemerintah Saudi mulai mengurangi tunjangan bagi para pegawai kerajaan dan akan mencabut subsidi listrik dan kebutuhan dasar lainnya yang dirasa telah membebani keuangan Kerajaan. Dapat dipahami program pencabutan subsidi dan pengenalan pajak bagi rakyat Saudi akan menimbulkan keresahan sosial sehingga peningkatan citra penguasa perlu ditingkatkan melalui program pemberantansan korupsi.

Walaupun program ini sebenarnya diduga sebagai upaya untuk melakukan konsolidasi politik dan menyingkirkan para pangeran yang tidak sejalan dengan kebijakan Bin Salman.

Konsolidasi politik

Usaha-usaha untuk memperkuat posisi Putra Mahkota perlu dilakukan agar posisinya tidak terganggu dan suksesi kepemimpin dapat berjalan dengan lancar. Raja Salman ingin memastikan ketika dia melepas kekuasaannya akan segera diikuti oleh pengangkatan Sang Putra Mahkota sebagai Raja.

Mengingat ada kecenderungan dalam budaya politik di Saudi bahwa begitu sang ayah mangkat maka sejak itu sang anak kehilangan pengaruh di lingkungan keluarga Istana. Konsolidasi politik ini perlu dilakukan guna memastikan agar Bin Salman yang masih sangat muda itu bisa menjadi Raja Saudi berikutnya secara mulus.

Beberapa upaya untuk memotong pengaruh pesaing Putra Mahkota itu antara lain dapat dilihat pada kebijakan Raja untuk mencopot Pangeran Mutib bin Abdullah dari posisi Menteri Pertahanan Nasional berkaitan dengan isu korupsi. Kematian Pangeran Mansour bin Muqrin yang misterius dalam kecelakaan pesawat pun akan mengurangi kelompok kritis dalam Istana.

Ayah Mansour, yaitu Muqrin bin Abdul Aziz sendiri, pernah diangkat menjadi Putra Mahkota pada awal-awal Raja Salman berkuasa kemudian digantikan oleh Muhammad bin Nayef bin Abdul Aziz. Tidak lama menjabat sebagai putra mahkota, bin Nayef kemudian diganti oleh Muhammad bin Salman.

Agaknya upaya untuk menciptakan citra positif melalui gerakan pemberantasan korupsi dan konsolidasi politik merupakan langkah yang sangat berani dari Sang Putra Mahkota. Al-Waleed bin Talal sendiri selain dituduh melakukan kegiatan pencucian uang juga diduga telah melakukan inisiatif investasi di Iran.

Walaupun Al-Waleed menyatakan akan menghentikan rencananya setelah Saudi menyatakan Iran sebagai musuh utama bagi negara-negara di Timur Tengah, hubungannya dengan Iran tetap dipersoalkan. Langkah-langkah yang dilakukan Sang Putra Mahkota agaknya telah menciptakan celah besar bagi perlawanan balik dari para pangeran.

Apabila ini yang terjadi maka dapat dipastikan stabilitas politik Kerajaan Saudi akan terganggu dan jalan menuju kekuasaan bagi Bin Salman tidak akan mulus. Langkah beraninya telah menimbulkan kekecewaan dan permusuhan dari anggota keluarga Istana itu sendiri.

Peristiwa terakhir terbunuhnya Pangeran Abdul Aziz bin Fahd dalam operasi penangkapan terhadap pihak-pihak yang berseberangan dengan Bin Salman juga akan memicu masalah baru. Abdul Aziz sendiri adalah mitra bisnis dari Saad Hariri, Perdana Menteri Lebanon yang baru saja mengundurkan diri. Hariri mundur dari jabatannya tidak lama setelah bertemu dengan Bin Salman di Riyad.

Tampaknya Saudi tidak puas dengan Hariri yang menjabat sebagai Perdana Menteri Lebanon sejak 2016 karena memimpin pemerintahan koalisi yang di dalamnya ada wakil dari Hezbollah. Ketidaksukaan itu semakin memuncak ketika Hariri melakukan pertemuan dengan Ali-Akbar Velayati, penasehat luar negeri Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin spiritual Iran.

Akibatnya, tidak lama setelah kunjungannya di Saudi, Hariri pun menyampaikan pengunduran dirinya sebagai Perdana Menteri Lebanon.

Pertanyaannya adalah apakah langkah-langkah berani Muhammad bin Salman dalam menaklukan lawan-lawan politiknya di kalangan keluarga Istana akan berhasil? Apakah keterlibatan Saudi dalam perang Yaman, embargo kepada Qatar dan kesiapannya untuk berperang dengan Lebanon akan memperkuat posisi Sang Putra Mahkota atau malah sebaliknya. Wallahu a'lam bishowab!

*) Penulis adalah Ketua Program Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement