Rabu 08 Nov 2017 05:31 WIB

Harap-Harap Cemas Menanti Upah Minimum Kota Bekasi

Rep: Farah Nabila/ Red: Karta Raharja Ucu
Rupiah (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Rupiah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Lorong lantai satu kantor Dinas Sosial Kota Bekasi, siang itu tampak tak begitu ramai. Para pegawai berlalu lalang sembari membawa tumpukan kertas dari pintu ke pintu. Sebuah pintu di sebelah sisi kirk tampak tertutup rapat-rapat.

Haryanto, seorang pekerja di sebuah perusahaan di Kota Bekasi saat itu sedang duduk termenung di kursi tunggu di lantai satu kantor Dinas Sosial Kota Bekasi. Tak seperti lantai dua, di lantai satu suasananya lebih landai tanpa lalu lalang para pegawai.

Ia saat itu katanya, sedang menanti hasil perundingan para pihak, soal standar upah yang nantinya akan ia dapatkan per bulan tahun 2018. "Masih dirundingkan, jadi harus menunggu," katanya.

Pria asal Solo, Jawa Tengah itu mengaku sangat cemas menanti keputusan nominal angka Upah Minimum Kota (UMK) Kota Bekasi. "Karena saya bergantung pada aturan regulasinya," ujarnya.

Pria yang memiliki satu anak itu mengatakan, kesehariannya ia bekerja sebagai tenaga administrasi dalam perusahaan itu selama delapan jam. Setiap harinya ia juga bersentuhan langsung dengan para pemasok terigu, mengingat produk yang perusahaannya produksi adalah mi instan.

"Dengan pekerjaannya yang demikian, ia mengakui upah yang ia dapatkan termasuk kurang. Kalau dibilang defisit, ya defisit," katanya.

Pria yang tinggal di Ujung Harapan, Bekasi ini mengatakan, walaupun telah diberlakukan tunjangan-tunjangan dari setiap perusahaan, ia merasa itu tidak seberapa. "Tunjangan itu kan uang lelah, nominalnya kurang dari Rp 500 ribu," ujarnya.

Sementara, ia sendiri juga ikut memprotes atas kebijakan mengenai UMK karena standar itu merupakan standar bagi pekerja lajang. "Kalau yang sudah berkeluarga seperti saya, ya kurang relevan mengikuti upah minimum," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement