Senin 06 Nov 2017 22:23 WIB

Kebijakan BBM Satu Harga dan Persaingan Usaha Sehat

Kebijakan satu harga bahan bakar minyak (BBM). (Prayogi/Republika)
Foto: Republika/Prayogi
Kebijakan satu harga bahan bakar minyak (BBM). (Prayogi/Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Direksi Pertamina pada hari Kamis tanggal 2 November 2017 telah menggelar pertemuan dengan awak media massa untuk menyampaikan kepada publik hasil kinerja Triwulan III (rentang bulan Juli-September 2017) yang berhasil dicapai.

Paling tidak, ada tiga catatan penting yang disampaikan oleh Elia Massa Manik, Direktur Utama Pertamina, pada pemaparan hasil kinerja yang dicapai perusahaan BUMN yang dipimpinnya  tersebut. Yang pertama adalah, soal penurunan laba perusahaan yang berhasil dicapai sampai Triwulan III.

Yang kedua, meningkatnya beban operasi Pertamina disebabkan adanya kenaikan harga minyak mentah dunia dan tiadanya penyesuaian harga sebagai konsekuensi harga yang berubah. Dan yang ketiga adalah masuknya perusahaan baru yaitu Vivo pada bulan Oktober 2017 yang mengelola SPBU dengan menjual BBM Premium jenis RON (Research Octane Number) 89 lebih murah dibanding harga jual SPBU Pertamina.

Terhadap kehadiran Vivo ini, jajaran Pertamina tak terlalu mempermasalahkannya sejauh ini, karena SPBU yang dikelola oleh Vivo baru berjumlah satu unit di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Tentunya, dampak persaingan harga murah yang ditawarkan SPBU Vivo kepada konsumen di wilayah Jawa, Madura dan Bali ini terhadap kinerja Pertamina akan berpengaruh beberapa bulan atau periode yang akan datang, termasuk jika Vivo juga diberikan izin untuk memasarkan Premium jenis RON 89 ini ke seluruh Indonesia dan wilayah penugasan BBM satu harga.

BBM murah

Mengapa sejatinya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) begitu kepincut dan pasang badan dengan memberikan izin dan bahkan meresmikan SPBU swasta dan ada kepemilikan asing juga untuk beroperasi di wilayah Jakarta? Apakah Kementerian ESDM hanya memperhitungkan faktor harga murah saja dalam mempertimbangkan pemberian izin pada perusahaan swasta yang mengelola SPBU Premium jenis RON 89 ini atau ada faktor lain?

Sebagaimana diketahui publik bahwa produk BBM berbagai jenis, baik RON 88,89,90,91 dan 92 memang sudah memasuki era persaingan pasar bebas, dan beberapa perusahaan swasta asing pun sudah lama beroperasi di wilayah Indonesia, seperti SPBU Shell dan Total. Namun, kedua SPBU yang lebih awal beroperasi ini tidak memasarkan Premium jenis RON 88 dan 89, melainkan RON di atasnya atau kualitas polutannya lebih rendah.

Apabila hadirnya SPBU Vivo adalah untuk memberikan pelayanan optimum pada masyarakat konsumen dengan harga lebih murah, maka analisis yang disampaikan oleh mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas di sebuah media memperoleh pembenaran, bahwa harga Premium Rp 6.100 ini lebih murah dibanding dengan harga jual SPBU Pertamina. Hanya saja kalkulasi yang digambarkan dalam tulisan tersebut bisa menjadi keliru dengan data dan informasi harga bahan mentah yang sebenarnya.

Dengan menyampaikan bahwa harga jual SPBU Pertamina yang lebih mahal Rp 350 per liter, maka disebutkan rakyat sebagai menanggung kemahalan sebesar Rp 96,8 miliar per hari dan jika satu tahun kemahalan yang ditanggung menjadi Rp 33,34 triliun.

Apakah perhitungan ini benar, sehingga menjadi informasi yang mendiskreditkan Pertamina atas harga jual yang kemahalan selama ini bagi konsumen serta marjin besar bagi Pertamina? Kalkulasi ini tidaklah tepat dan benar dengan hanya membandingkan harga jual konsumen akhir dari premium jenis RON 88 dan 89 yang dijual oleh Pertamina dan Vivo.

Seharusnya hitungan harga jual ini tidak dihitung berdasar perolehan harga dasar minyak mentah dunia yaitu 50 dolar AS per barel (1 barel=159 liter) dengan kurs Rp 13.560 per dolar AS. Hitungan ini sama sekali salah, sebab harga 50 dolar per 159 liter ini adalah harga minyak mentah. Crude, yaitu yang keluar dari dalam bumi dan harganya tergantung kepada banyak sedikitnya impurities.

Apabila minyak ini masih banyak mengandung sulfur maka disebut sour dan harganya lebih murah. Sedang harga yang sudah ditetapkan oleh Pertamina dan Vivo adalah produk gasoline sebagai hasil pengolahan minyak mentah yang keluar dari kilang. Jadi, informasi kalkulasi adanya beban kemahalan telah ditanggung oleh rakyat konsumen yang disampaikan adalah opini sesat dan menyesatkan publik.

Harga sesudah pengolahan berdasar informasi di website Nasdaq pada tanggal 27 Oktober 2017 adalah 1.747 dolar AS per galon (belum termasuk biaya terminal, transportasi, PBBKB, iuran BPH, PPN, marjin terminal, marjin investor). Satu galon adalah 3.785 liter, jika asumsi satu dolar AS adalah Rp 13.560, maka harga minyak olahan (gasoline) yaitu: 1.747/3.785 dolar AS per liter x Rp 13.560 = Rp 6.258,74 per liter.

Dengan hitungan harga gasoline ini saja, dan tanpa ada beban biaya tambahan lain pembentuk harga jual ke konsumen sesuai Perpres 191 Tahun 2014, maka harga jual SPBU Vivo sudah tak masuk akal sebesar Rp 6.100, sebab ada selisih sebesar Rp 158,74.

Apakah mungkin perusahaan ini memperoleh harga gasoline per galon lebih murah ataukah memperoleh potongan harga atau perlakuan istimewa dari pedagang gasoline? Dengan harga gasoline sebesar Rp 6.258,74 per liter, ditambah marjin dan biaya 20 persen, PPN 10 persen, PBBKB 5 persen, maka harga jual eceran Premium jenis RON 88 tentu lebih besar dari Rp 6.450 atau Pertamina memberikan subsidi sebesar lebih dari Rp 200 per liter kepada rakyat konsumen

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement