REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan segera menata pedagang kaki lima (PKL) yang kembali memenuhi kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Penataan diproyeksikan untuk jangka panjang agar PKL yang ditata tidak kembali ke jalan dan membuat kesemrawutan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengaku sudah menyiapkan rencana untuk penataan pedagang tersebut. "Ada terobosan menarik, tetapi kita kan enggak cerita rencana. Kita laporkan kalau sudah eksekusi," kata dia di Balai Kota, Senin (30/10).
Menurut dia, penyelesaian kesemrawutan Tanah Abang tak bisa hanya dengan berpikir jangka pendek. Persoalan itu tidak muncul saat ini saja, tetapi sudah bertahun-tahun dan selalu berulang. Perlu ada solusi permanen dan jangka panjang untuk menyelesaikannya.
"Itu kata kuncinya, jangan temporer. Kalau dilakukan untuk jangka pendek, kemudian muncul-muncul lagi kan," kata dia.
Wakil Gubernur Sandiaga Uno mengatakan, dirinya enggan terburu-buru memutuskan langkah apa yang akan diambil. Kajian akan dilakukan secara terus-menerus sebelum benar-benar diterapkan. Dia ingin kajian solusi terhadap permasalahan Tanah Abang berbasis data.
Menurut Sandiaga, Tanah Abang merupakan tempat lalu lalang sekitar 300 ribu orang per hari. Artinya, di sana ada roda ekonomi yang terus berputar. Sandi ingin penataan UKM di sana bisa dilakukan dengan permanen.
"Kita tidak ingin terburu-buru, Pak Wali (Wali Kota Jakarta Pusat) kita sudah duduk bersama dan berpikir dalam terobosan yang tidak temporer, tapi lebih berkelanjutan," ujar dia.
PKL di Tanah Abang kembali marak dan memenuhi trotoar. Penertiban PKL di Tanah Abang menjadi isu besar di era pemerintahan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Pada awal kepemimpinan mereka, sebagian besar PKL yang memenuhi jalan berhasil direlokasi ke Blok G.
Saat ini, PKL kembali berderet dari ujung Jalan Jatibaru Raya dekat Stasiun Tanah Abang hingga ke arah jalan layang. Puluhan PKL tersebut menjajakan berbagai macam dagangan. Mulai dari kebutuhan sandang, jilbab, hingga aksesori seperti topi dan bandana.
Salah satu pedagang, Emak, mengaku lebih suka berjualan di trotoar. Lokasinya yang dekat Stasiun Tanah Abang membuat pembeli bisa langsung melihat-lihat barang dagangan dan mendekat apabila tertarik.
Emak mengatakan, jika di Blok G, pembeli harus berjalan jauh dan menaiki tangga. Menurut Emak, pembeli akan malas melewati rute melelahkan sehingga lebih memilih yang lokasinya strategis.
Menurut Emak, para PKL sudah tertib dan menyisakan ruang bagi pejalan kaki. Dia pun berjualan di belakang batas garis kuning. Karena trotoar yang ada sudah cukup lebar, sambung dia, pejalan kaki masih bisa leluasa.
"Di sini juga kita enggak ganggu jalan kok. Kan kalau (berjualan) di trotoar sini lebih dekat dari stasiun. Orang biasa datang, pelanggan kan dari stasiun," ucap Emak saat ditemui pekan lalu.
Pedagang lainnya, Ropiyatun, juga memilih berjualan di trotoar dan tak mau pindah ke Blok G karena harga sewanya yang mahal. Pendapatan yang diterimanya tidak sebanding jika masih harus membayar sewa kios. Dia menilai tempat yang sudah disiapkan Pemprov DKI tersebut lebih cocok jika diberikan kepada pemilik toko besar, bukan PKL seperti dirinya.
Ropiyatun sebenarnya adalah pedagang di Kota Tua. Namun, sejak PKL di sana dipindahkan ke lokasi binaan (lokbin) di Jalan Cengkeh, ia memilih pindah ke Tanah Abang karena tak mau membayar biaya sewa tempat. Ropiyatun yang saat ini berjualan topi dan bando hias merasa hanya membutuhkan satu stan untuk menaruh dagangannya.
(Editor: Ilham Tirta).