Selasa 31 Oct 2017 06:00 WIB

Penguatan Kesadaran Kebangsaan (I)

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

(Catatan: dua seri Resonansi berikut ini berasal dari pidato saya dalam seminar “Bisikan dari Jogja: Refleksi, Evaluasi, dan Rekomendasi Bidang Kebudayaan Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK” atas prakarsa Pusdema Universitas Sanata Dharma dan Galang Press, Yogyakarta, 21-22 Oktober 2017, dengan tambahan pengayaan di sana-sini).

Setelah 72 tahun lebih dua bulan merdeka, semestinya kesadaran kultural kita sebagai bangsa sudah semakin kokoh, tidak muncul lagi isu-isu negatif dan destruktif seperti adanya ancaman daerah tertentu yang ingin melepaskan diri dari ikatan kebangsaan Indonesia. Dalam pada itu, pergolakan daerah yang terjadi di akhir 1950-an tidak bisa dibaca sebagai gerakan separatisme, sebab lebih banyak dipicu oleh semangat untuk menuntut keadilan dan otonomi daerah yang ditelantarkan oleh politik sentralistik saat itu.

Politik tipe ini masih berlangsung sampai tahun 1998, setidak-tidaknya dalam teori, sedangkan dalam kenyataan pembangunan daerah yang sesungguhnya belum terwujud. Kata orang: kepalanya dilepaskan, tetapi ekornya masih tetap saja dipegang.

Perhatian negara secara sungguh-sungguh terhadap pembangunan daerah di luar Jawa baru menjadi masif di era pemerintahan Jokowi-JK (2014-2019), khususnya sejak dua tahun terakhir. Maka tidak mengherankan hasil terakhir dari beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa kepuasan publik atas kinerja pemerintah sudah nyaris mendekati angka 80 persen.

Ini angka yang sangat tinggi. Tetapi ingat bahwa angka ini belum sekaligus menunjukkan bahwa ikatan kebangsaan kita sudah kuat, tidak perlu dirawat lagi dengan alasan berikut ini. Ketimpangan pembangunan antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur baru mulai dipertautkan.

Jika sejarah sebagai kritik dapat digunakan dalam meneropong perjalanan sejarah bangsa yang terdiri atas ribuan pulau ini, sesungguhnya Indonesia sebagai bangsa masih dalam proses menjadi, belum jadi betul. Gangguan dan bahkan ancaman terhadap keberadaannya masih saja muncul, baik karena pengaruh ideologi luar yang diimpor ke sini oleh kelompok-kelompok sempalan yang ahistoris maupun oleh kelalaian negara untuk menegakkan keadilan sebagaimana yang diperintahkan oleh sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Situasi sejarah nasional dalam tahap yang masih dalam “proses menjadi” ini tidaklah mengejutkan benar karena kesadaran berbangsa satu itu baru muncul tahun 1920-an, bersamaan dengan perubahan nama organisasi mahasiswa kita di negeri Belanda dari Indische Vereniging menjadi Indonesische Vereniging atau PI (Perhimpunan Indonesia) yang fenomenal itu. Sebelum itu, yang disebut bangsa itu tidak lain dari suku-suku bangsa dengan beragam subkulturnya masing-masing.

Ali Sastroamidjojo dalam autobiografinya menulis: “Bagi saya yang baru saja datang dari Jakarta (permulaan tahun 1923) … dengan suasana kolonialnya dan pergerakan pemudanya yang masih bersifat kedaerahan, nama ‘Indonesische Vereniging’ ini sungguh menggoncangkan semua pendapat atau keyakinan yang saya bawa dari Tanah Air. Arti persatuan bangsa Indonesia, belum pernah menjadi perhatian ‘Jong Java.’ Kesadaran kebangsaan saya baru sampai pada taraf kesukuan Jawa.”(Tonggak-Tonggak di Perjalananku. Jakarta: PT Kinta, 1974, hlm 43).

Perasaan seperti yang dialami Ali ini tentu dirasakan pula oleh mereka yang berasal dari suku-suku lain di Nusantara yang sedang belajar di Eropa ketika itu. Melalui tempaan revolusioner dan inspiratif dalam kegiatan PI, maka perasaan kedaerahan itu menjadi luluh untuk menyatu dan melebur dalam perasaan keindonesiaan yang padu dalam ikatan sebuah bangsa besar di kawasan khatulistiwa yang cantik dan kaya dengan sumber-sumber alam.

Selanjutnya, tokoh PI ini bertutur: “Dari sebab itu turut mengalami saat-saat peralihan radikal di dalam perkembangan ‘Indische Vereniging’ menjadi ‘Indonesische Vereniging’ yang terjadi di Den Haag itu menyebabkan perubahan mental yang radikal pula di dalam jiwaku. Dengan segera sekali menipislah perasaan kesukuan Jawa di dalam hatiku. Perasaan dan kesadaran baru segera tumbuh. Saya mulai sadar bahwa saya tidak hanya termasuk golongan suku Jawa, melainkan menjadi sebagian daripada suatu bangsa besar, ialah bangsa Indonesia.”(Ibid).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement