Ahad 29 Oct 2017 10:22 WIB

Mengubah Minda

Haedar Nashir

Banyak kepentingan

Kehidupan berbangsa di negeri ini terlalu sarat beban. Satu di antaranya banyaknya lalu lintas kepentingan yang sedemikian bebas, sebebas proses politik dan ekonomi yang menjadikan Indonesia serbaliberal. Politik transaksi menjadi pemandangan umum. Sehingga, dalam bahasa sosiologi, terjadilah komodifikasi yang masif, semua hal ada harganya untuk diperjualbelikan. Agama pun, termasuk fatwa, terbuka kemungkinan dapat menjadi lahan komoditas paling menarik.

Akibatnya, tidak sedikit masalah menjadi awet dan malah cenderung diproduksi dan direproduksi karena makin lama kian mahal harganya untuk dikomodifikasikan di pasaran.

Radikalisme, ekstremisme, dan apa pun yang menjadi masalah menjadi komoditas laris di ruang publik sehingga kian lama bukan makin kecil dan hilang tetapi menjadi mekar. Ada yang genuin, tetapi tidak sedikit yang menjadi proyek dan diproyekkan.

Setiap jengkal ada proposalnya sehingga terjadi perluasan dan pengembangbiakkan masalah. Dalam keadaan serbatransaksional dan komodifikasi itu maka ruang kewajaran pun menjadi makin menyempit. Normalitas dikalahkan abnormalitas.

Masalah tidak dapat dianalisis secara jernih karena analisis dan solusinya sudah dipatok harus tunggal sesuai para pemangku kepentingan dan yang saling berkepentingan. Mereka yang tidak berkepentingan, meskipun memiliki pikiran dan tawaran yang baik, tidak akan terakomodasi dan bahkan dapat dianggap pengganggu karena berada di luar pasar dan program komoditas.

Agar sah melakukan tindakan sepihak terhadap orang lain, diproduksilah istilah-istilah stigmatik dan stereotip keagamaan tertentu sehingga pihak yang tak bersalah pun bisa menjadi korban.

Tarikan kepentingan diri dan kelompok semakin tingggi dalam banyak urusan kebangsaan sering menjadi sandera bagi bangsa ini untuk keluar dari masalah. Malah tidak jarang terjebak pada lingkaran setan yang tak berujung pangkal.

Pemberantasan korupsi sering kontroversi sehingga para koruptor makin leluasa beroperasi dan berkamuflase diri. Proyek reklamasi makin menjadi polemik karena di dalamnya sarat kepentingan. Para mafia apa pun makin leluasa berdiaspora di negeri ini. Karena, semuanya dapat ditransaksikan dan diperjualbelikan.

Adakah rakyat memperoleh keuntungan di balik semua itu? Sama sekali tidak! Karenanya diperlukan pola pikir baru yang bersih dari lalu lintas kepentingan dan beban komodifikasi. Sehingga dalam menghadapi dan mencari solusi atas masalah di tubuh bangsa ini dapat dikonstruksi secara lebih tepat, benar, dan jernih sehingga terbuka jalan keluar.

Jangan sampai gali lobang tutup lobang serta keluar dari satu masalah masuk ke masalah lain yang sama peliknya atau malah berujung di jalan buntu. Semua pihak mesti berjiwa besar dan terbuka dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah-masalah bangsa.

Belajarlah dari jalan rumit persoalan Perppu dan UU Ormas yang akhirnya menjadi masalah krusial yang membelah bangsa karena sejak awal niat dan pola pikirnya serba-apriori. Jangan diikuti dan dimanjakan pola pikir asal loyal dan asal dukung tanpa tanggung jawab, apalagi loyalitas kebangsaan yang naif itu disertai tukar-menukar kepentingan sesaat.

Sama pentingnya, siapa pun warga dan kelompok bangsa jangan asal tidak senang secara apriori sehingga di negeri ini seolah tak ada noktah-noktah kebajikan. Saling berdiri dalam oposisi biner yang terus berhadapan secara ekstrem dalam berbangsa dan menyikapi masalah kebangsaan sangatlah merugikan Indonesia.

Ujaran dan sikap-tindak ugal-ugalan, hatta yang mengatasnamakan pandangan keagamaaan apa pun, saatnya dihentikan agar tak memercikkan api permusuhan, yang sekali ditebarkan sangat sulit untuk dipadamkan.

Jika Indonesia saat ini dan ke depan ingin bangkit menjadi bangsa dan negara besar maka elite dan rakyatnya niscaya berjiwa besar, berpikir cerdas, dan melakukan langkah konstruktif berkemajuan.

Bukan menjadi sosok kerdil jiwa, pikiran, dan tindakan hingga menjadikan negeri dan bangsa ini terbonsai dalam kerangkeng yang penuh onak dan duri. Ubah minda dari pola pikir serbanegatif dan sarat kepentingan dengan mengonsumsi dan memproduksi hal-hal yang positif-konstruktif disertai visi optimisme dan jiwa kenegarawanan yang melampaui.

Jadilah elite dan warga bangsa yang akil-balig seraya mengakhiri masa kekanak-kanakkan agar Indonesia makin dewasa. Ubahlah minda dari kekerdilan dan kenaifan dengan aura ihsan, kearifan, kecerdasan, dan segala jejak berkemajuan!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement