Sabtu 28 Oct 2017 15:54 WIB

Pemilik Pabrik Mercon Langgar UU Perlindungan Anak

Rep: Amri Amrullah/ Red: Andi Nur Aminah
Polisi memindahkan kantong-kantong jenazah ke atas ambulans di lokasi kebakaran Gudang Kosambi, Tangerang
Foto: Muhammad Iqbal/Antara/Reuters
Polisi memindahkan kantong-kantong jenazah ke atas ambulans di lokasi kebakaran Gudang Kosambi, Tangerang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa memilukan kebakaran pabrik petasan, PT Panca Buana Cahaya Sukses, Kamis (26/10), menuai kepedihan bagi para korban. Fakta yang paling miris adalah jumlah anak-anak yang turut menjadi korban.

Komisioner KPAI Bidang Traficking dan Eksploitasi Anak, Ai Maryati Solihah mengungkapkan dalam kasus kebakaran ini terdapat enam anak usia 16 sampai 17 tahun yang sedang dirawat dan dalam kondisi yang mengenaskan. Enam anak yang menjadi korban tersebut merupakan total 46 korban yang sekarang menjalani rawat inap yang dirujuk di beberapa RS di Tangerang dan Jakarta.

Banyaknya korban anak dalam insiden ini, menurutnya, menandakan masih tingginya pekerja anak di sektor formal. Khususnya pada jenis pekerjaan yang membahayakan. "Pabrik tersebut abai pada keselamatan jiwa pekerjanya dengan memperkerjakan anak-anak dalam jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (28/10).

Ia mengungkapkan pabrik petasan ini memuat racikan kimia pembuat bahan dasar petasan dan kembang api. Dan anak yang bekerja di bagian packing dibayar murah dengan target tinggi. "Mereka dibayar kisaran Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu per hari," jelasnya saat mengunjungi di lokasi kejadian, Jumat (27/10) kemarin.

Selain merekomemdasikan untuk ditutup, ia mengusulkan pemilik pabrik harus mengikuti proses hukum karena diduga melakukan banyak pelanggaran perundang-undangan. Salah satunya adalah UU Perlindungan Anak. "Kami mencium praktik eksploitasi pekerja anak, dengan mempekerjakan anak di bawah umur tanpa disertai aturan dan pengupahan yang jelas," ujar Ai Maryati.

Jenis pekerjaan yang dilakukan anak ini, dia mengatakan, sangat mengganggu kesehatan serta rawan bahaya. Karena sehari-hari berjibaku dengan bahan-bahan kimia, bau kimia dan mengepack hasil kimia tersebut. "Ini sangat jauh dari semangat UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur dengan rinci syarat dan aturan jika anak dilibatkan dalam pekerjaan yang aman ringan edukasi dan latihan, serta dalam pengawasan orang tua," paparnya.

Selain itu KPAI juga mendalami adanya motif rekrutmen pada anak-anak melalui pendekatan teman sebaya. Pekerja anak menceritakan kepada teman-temannya dan mengajak merantau ke Tangerang, tanpa diberi tahu terlebih dahulu jenis pekerjaan apa yang akan dikerjakan. "Ke depan pemerintah harus lebih serius menjalankan program Indonesia tanpa pekerja anak. Karena sampai saat ini anak yang bekerja masih tinggi terutama pada usia menuju transisi ke 18 tahun," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement