Sabtu 28 Oct 2017 00:45 WIB

Semangat Dialogis Sumpah Pemuda Perlu Ditradisikan Kembali

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak
Foto: Republika / Darmawan
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan secara filosofis, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dinilai bukan sebagai upaya membentuk keseragaman dalam satu bangsa dan negara, tetapi untuk memperkuat identitas keberagaman. Dahnil menilai, para pemuda tahun 1928 sejatinya mewariskan semangat dialogis yang kuat.

"Yang dilakukan para pemuda saat itu bukan upaya membentuk keseragaman dalam satu bangsa dan negara, namun justru memperkuat identitas keberagaman. Dengan mengakui keberagaman itu (maka) akan mampu menyatukan karena nalar sehat keinginan untuk hidup bersama dan saling berbagi dalam satu Indonesia," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/10).

Karena itu, menurut Dahnil, para pemuda tahun 1928 sebetulnya mewariskan semangat dialogis yang kuat. Dialog dalam keberagaman, di mana nalar sehat adalah instrumen utama dalam dialog tersebut. Sehingga, keberagaman dipahami sebagai pemersatu dan kekuatan, bukan kelemahan.

"Ditambah lagi para pemuda saat itu memiliki musuh bersama bernama kolonialisme," katanya.

Menurutnya, saat ini penting kembali untuk merefleksikan nilai dasar Sumpah Pemuda 1928 itu sebagai upaya merawat nalar yang menyatukan. Di mana penting untuk membangun kesadaran kolektif untuk terus membangun tradisi dialogis di atas keberagaman.

"Tantangan generasi milenial adalah sosial media yang justru penuh dengan destruksi yang bukan justru menghasilkan tradisi dialogis, tapi tradisi monologis. Ditambah lagi dengan absennya akhlak dengan destruksi produksi fitnah-fitnah melalui hoax yang dilakukan akun-akun anonim yang tidak bertanggungjawab," jelasnya.

Karena itulah, kata Dahnil, saat ini dibutuhkan semangat menggembirakan kembali dialog. Hal itu berguna untuk menjaga keberagaman dan memaknai Indonesia yang satu. Selain itu, perlu juga dilakukan pengingatan kepada pemuda terkait musuh yang akan merusak hak masa depan mereka, yaitu korupsi dan narkoba.

"Bila dulu kolonialisme merampas masa depan pemuda atas negara yang merdeka, maka kini hak masa depan Indonesia yang bermartabat, cerdas, dan sejahtera dirampas dan diancam oleh perilaku korup para politisi dan korporasi rakus," tegasnya.

Ia menambahkan, begitu juga dengan orang-orang yang dengan tega merampas hak-hak masa depan pembangunan dan pelayanan publik untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Demikian pula, kata Dahnil, dengan narkoba.

"Maka, sikap terang dalam melakukan perlawanan terahadap korupsi yang dimulai dari pilihan gaya hidup antikorupsi dan antinarkoba di kalangan pemuda bisa menjadi jalan membangun kesadaran kolektif menyatukan Indonesia melalui tradisi dialog," ujarnya.

Dahnil menerangkan, Pemuda Muhammadiyah melihat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai titik awal kesadaran kolektif untuk bersatu sebagai bangsa dan negara, menjaga satu tanah air dengan bahasa tunggal yakni bahasa Indonesia yang menyatukan. Namun, hal itu tidak mengabaikan eksistensi identitas etnis dan agama yang berbeda-beda karena semangat etnis dan agama itu yang menjadi jiwa mendorong kemerdekaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement