REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dakhiri menilai minimnya kompetensi angkatan kerja menjadi salah satu kelemahan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. Padahal menurutnya faktor kompetensi merupakan kunci yang akan menjadi kekuatan dalam berkompetisi di tengah persaingan global.
Hal itu dikatakannya dalam pidato sambutan peresmian Politeknik Ketenagakerjaan di kompleks Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja Luar Negeri CEVEST, Kamis (26/10). Menurut dia, pihaknya menghadirkan Politeknik Ketenagakerjaan yang mulai merekrut mahasiswa angkatan pertamanya pada tahun ajaran 2017/2018 sebagai respons dari minimnya kompetensi angkatan kerja.
"Dewasa ini konflik hubungan industrial kian kompleks, oleh karenanya butuh SDM yang terampil di bidang ketenagakerjaan ini. Jika semua stakeholder ketenagakerjaan memiliki pemahaman yang memadai, konflik-konflik yang muncul akan tertangani lebih baik," katanya.
Hanif mengatakan, hadirnya Politeknik Ketenagakerjaan ini merupakan proyek "Bandung Bondowoso" yang turut didukung Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur. Dalam waktu yang terbilang singkat, kata dia, Politeknik Ketenagakerjaan kini sudah beroperasi dengan 90 mahasiswa sebagai angkatan pertamanya.
"Animonya pun tinggi karena saat pendaftaran dibuka, ada 2.506 peminatnya. Tapi seleksi akhirnya meloloskan 90 mahasiswa saja," katanya.
Ada tiga jurusan yang dapat dipilih di Politeknik Ketenagakerjaan ini, yakni D4 keselamatan dan kesehatan kerja, D4 Relasi Industri, dan D3 Manajemen SDM. Hal istimewa yang menjadi keunggulan Politeknik ini ialah lulusannya tak hanya mengantongi ijazah ketika menyelesaikan pendidikannya, tapi juga sertifikat kompetensi.
"Sertifikat kompetensi ini merupakan tiket untuk memasuki arena persaingan global," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) M Nasir sependapat dengan pentingnya peran sertifikat tersebut. Namun dewasa ini masyarakat Indonesia masih berorientasi pada gelar akademik.
"Akhirnya yang banyak hadir pun ialah institusi pendidikan yang berbasis sains, bukan vokasi," katanya.
Nasir mengatakan, saat ini Indonesia hanya memiliki 16 persen institusi pendidikan berbasis vokasi, sisanya berbasis sains, sementara di Cina, proporsinya justru terbalik karena 70 persen institusi pendidikannya berbasis pada vokasi.
"Pola pikir seperti ini harus diubah karena gelar akademik tidak menjamin kemampuan dan keterampilan akan suatu bidang. Justru kompetensi yang diperoleh dari pendidikan vokasi yang menjadi penentu persaingan nantinya," katanya.