Kamis 26 Oct 2017 15:00 WIB

Asal-Usul Sebutan Betawi

Tari Topeng Betawi. Ilustrasi.
Foto: Antara
Tari Topeng Betawi. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Chefik Chehab, Pengamat Sosial

Masih dalam wewangian mensyukuri sembilan windu kemerdekaan Republik Indonesia, ada baiknya kita melongok sejenak pra dan pascakelahiran republik ini. Ketika ada yang bertanya usia penulis, yang lahir dan dibesarkan di Jakarta 73 tahun lebih yang lalu, orang itu langsung mengomentari, "Wah, kalau begitu, Bapak orang Betawi tulen dong!" Apa betul begitu? Hal inilah yang menggelitik munculnya tulisan ini.

Siapa di sini yang tidak pernah mendengar nama gado-gado betawi, soto betawi, asinan betawi, budaya Betawi, pantun Betawi, bagai membanggakan kebetawiannya. Merembet ke atas, ada maskapai Batavia Air, Hotel Batavia, Cafe Batavia, Apartemen Batavia Tower.

Di kalangan muda-mudi bahkan ada sanggar tari Batavia Dance Club yang acapkali mempertunjukkan kepiawaiannya di layar kaca, dan di akar rumput muncul organisasi forum ini, forum itu, yang seolah-olah membanggakan kebetawiannya.

Kemudian timbul pertanyaan, dari manakah istilah nama Betawi, Batavia tersebut? Jakarta kita tercinta ini, sebelum 1619, bernama Sunda Kelapa karena di bawah pengaruh Kerajaan Pasundan dan di sepanjang pesisir banyak tumbuh pohon kelapa dan bukan istilah nyiur.

Untuk menguasai kota pelabuhan Sunda Kelapa sebagai tempat singgah membawa rempah-rempah dari Maluku, timbullah pertempuran sengit antara Pangeran Jayakarta yang merupakan pemimpin dari Sunda Kelapa sebagai pihak yang bertahan melawan pasukan Belanda.

Jan Pieterszoon Coen memimpin pasukan Belanda. Dengan susah payah, ia mengalahkan Pangeran Jayakarta setelah mendapat bantuan tentara yang diangkut 16 kapal dari Maluku, pada 30 Mei 1619 ("Overzicht van de Javaansche Geschiedenis" cet tahun 1931/ha1aman 36).

JP Coen dengan segera mengirimkan berita penting ini kepada raja Belanda. Harap dicatat di sini bahwa lama pelayaran dari Sunda Kelapa sampai tiba di negeri Belanda sekitar enam bulan lamanya lewat Tanjung Harapan (Cape Town kini) di ujung pantai selatan Afrika.

Pemerintah Kerajaan Belanda dengan gembira menyambut berita ini. Mereka sepakat menamakan kota baru ini Batavia, yang mengabadikan nama suku bangsa leluhur Belanda dari sekitar 21 abad yang silam, yakni Bataaf (tunggal) dan Bataven (jamak).

Suku bangsa pribumi ini berdiam di kawasan yang hingga kini benama Betuw di Provinsi Gelderland. Perilaku orang Bataaf ialah Batavier (kata sifat). Dalam sejarah negeri Belanda bahkan pernah berdiri “de Bataafse Republik” walau hanya selama 11 tahun saja (1795-1806).

Bila orang Belanda asli mengatakan "Ik ben een Bataaf", itu sinonim dengan “Ik ben een Nederlander", artinya "Saya orang Belanda". Ini bisa dibaca di kamus bahasa Belanda Kramers Woordenboek (1956/halaman 57) dan kamus bahasa Inggris The World Dictionary jilid I (1978/halaman 171).

Namun, kata ini tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988). Jadi, nama Kota Batavia itu ada sejak 1619 dan sejarah mencatat JP Coen adalah tokoh utama yang menancapkan kekuasaan Belanda di Hindia Timur.

JP Coen menjadi gubemur jenderal pertama dari 1619-1623. Ia wafat pada tahun 1629. Untuk mengenang jasa-jasanya, Belanda membangun patungnya di Lapangan Banteng dengan telunjuk tangan kanannya menunjuk ke bawah.

Di bawah patung ini dipahat kalimat, “Dit stad heb ik gebouwd,” artinya, “Aku yang membangun kota ini.” Sukarno, proklamator dan presiden pertama RI, mengetahui dan paham betul hal ini karena beliau lulusan SLA Belanda. Sukarno juga merupakan alumnus Technise Hoge School (Sekolah Tinggi Teknologi) yang pada 1961 menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Beliau dan rekan-rekannya sepakat, pada 1942, untuk menggantikan nama Kota Batavia dengan Jakarta.

Pengubahan nama ini untuk mengenang jasa-jasa Pangeran Jayakarta yang telah mempertaruhkan jiwa, raga, dan kehormatan bangsanya. Mohon perhatikan, apakah pidato lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945 itu di Batavia atau Jakarta? Demikian pula Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 dan yang paling jelas adalah teks Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 ditandatangani di Jakarta dan bukan di Batavia.

Setelah ibu kota pindah dari Yogyakarta ke Jakarta (1950), salah satu gebrakan nasionalistis pertama adalah merobohkan patung JP Coen dan sebagai gantinya didirikan patung kebebasan berupa seorang pemuda gagah mengangkat kedua tangannya membentuk huruf V dengan rantai belenggu yang terputus (1961). Setelah merobohkan patung JP Coen, disusul menggantikan nama-nama jalan protokol yang bernapaskan aroma Kerajaan Belanda dengan nama-nama pahlawan nasional.

Misalnya Van Nassau Boulevaard (nama dinasti raja Belanda) menjadi Jalan Diponegoro, Oranje Boulevaard (nama julukan dinasti Kerajaan Belanda) menjadi Jalan Imam Bonjol, dan Van Heutz Boulevaard menjadi Jalan Teuku Umar.

Hal ini karena Jenderal Van Heutz merupakan rival Teuku Umar waktu Perang Sabil di Aceh serta banyak lain lagi. Sayangnya, meski kolonialisme Belanda telah lenyap, cinta mentalitasnya masih melekat.

Di antara ciri-ciri mentalitas kolonialis adalah aneksasi atau merebut kekuasan dan ekspansi atau memperluas daerah kekuasaan. Dalam kurun antara poklamasi kemerdekaan dengan Konferensi Meja Bundar, kita mengenal dua kali peperangan Indonesia melawan Belanda.

Ini mencerminkan pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang sudah menjajah lebih dari 300 tahun, tidak ikhlas melepas negeri yang kaya raya ini begitu saja. Watak kolonial ini bisa kita saksikan masih melekat walau kolonialisme Belanda telah lenyap.

Tidak sekali atau dua kali kita saksikan betapa penduduk yang berdiam di atas tanah bukan miliknya, tapi milik negara, enggan digusur atau dipindahkan dengan alasan sudah tinggal di lahan tersebut selama puluhan tahun.

Demikian pula yang menempati rumah dinas, walau tidak berdinas lagi karena sudah pensiun, juga sama saja, tidak mau mengosongkan rumah instansi di kala ia masih aktif. Padahal, rumah dinas itu dibutuhkan untuk pendatang baru guna menggantikan generasi seniornya.

Inilah yang kita bisa nilai sebagaimana diutarakan pada penjelasan di atas. Adalah hak setiap warga negara bila setelah membaca tulisan ini masih sempat berbangga dengan kebetawiannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement