Rabu 25 Oct 2017 08:28 WIB

Praktisi Sorot Soal Anggaran Pendidikan Pengaruhi Sikap Guru

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Guru mengajar di kelas.  (Ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Guru mengajar di kelas. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga 72 tahun Indonesia merdeka, nasib dunia pendidikan nasional masih jauh dari harapan. Padahal anggaran yang digunakan untuk membangun dunia pendidikan, adalah anggaran terbesar dibanding sektor pembangunan yang lain, mencapai 20 persen nilai APBN, atau Rp 416,1 triliun, untuk tahun 2017.

Sayangnya dari anggaran sebesar itu, dunia pendidikan Indonesia belum kunjung membaik. Itulah benang merah dari keseluruhan pendapat yang disampaikan belasan narasumber yang pada Round table Discussion dengan tema "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa : Pendidikan Nasional Menurut UUD NRI Tahun 1945".

Acara tersebut berlangsung di gedung Nusantara IV Kompleks MPR, DPR dan DPD RI, Selasa (24/10). Praktisi Pendidikan Prof. Arief Rahman misalnya, dia memberi catatan terhadap perilaku para guru dan dosen.

Menurutnya, banyak guru dan dosen di Indonesia yang sering mengeluh, tidak disiplin dan tidak memiliki persiapan sebelum mengajar. Mereka sering lupa apa yang harus diajarkan, atau sampai dimana pelajaran terakhir yang sudah disampaikan.

"Ada guru yang sering disibukkan dengan persoalan diluar pelajaran, dan lupa terhadap tugasnya mengajar", kata Arief menambahkan.

Sikap lain dari para guru dan dosen yang kurang baik menurut Arief Rahman adalah tidak bersemangat saat bertemu siswa. Padahal semestinya guru menunjukkan semangatnya, agar para siswa juga bersemangat dalam menerima pelajaran.

Pendapat lain dikemukakan Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi. Menurut Unifah tidak semua anggaran pendidikan terdistribusi secara baik. Bahkan, anggaran dari pusat yang ditransfer ke daerah untuk diteruskan ke guru, kerap dipergunakan terlebih dahulu untuk pembangunan daerah. Akibatnya, anggaran tersebut terlambat sampai ditangan para guru.

"Ini persoalan serius yang bisa menimbulkan kegelisahan, tetapi terjadi berulang-ulang", kata Unifah menambahkan.

Hal lain disampaikan Prof. Bomer Pasaribu. Menurutnya, pendidikan nasional sama sekali tidak terjangkau oleh sila-sila Pancasila. Akibatnya, perilaku Pancasila tidak muncul dalam perilaku pendidikan di Indonesia. Sementara di eropa yang tidak mengenal Pancasila malah melaksanakan prinsip prinsip Pancasila.

"Di Indonesia kita menemukan teori tentang Pancasia, tetapi di eropa, praktek Pancasila itu malah sudah dilaksanakan", kata Bomer menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement