Selasa 24 Oct 2017 16:38 WIB

KPK-Muhammadiyah Kerja Sama Susun Kurikulum Antikorupsi

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Gita Amanda
Aksi antikorupsi (ilustrasi)
Foto: Rakhmawaty La'lang/Republika
Aksi antikorupsi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjalin kerja sama dengan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah untuk pengembangan kapasitas antikorupsi. Salah satunya, dilakukan lewat penyusunan kurikulum pendidikan antikorupsi di perguruan-perguruan tinggi Muhammadiyah.

Salah satu pemberi materi, Wakil Ketua KPK, Saut Sitomorang mengatakan, tujuan KPK itu untuk menciptakan kesejahteraan dan menciptakan daya saing Indonesia. Oleh karena itu, bila korupsi masih ada, kesejahteraan dan daya saing itu tidak akan bisa dimiliki Indonesia.

 

Indonesia, lanjut Saut, oleh beberapa lembaga dunia mendapat nilai sekitar 30-an untuk penanganan korupsi. Sementara, negara-negara yang mendapat nilai bagus seperti Belanda, Denmark atau Swedia dengan nilai-nilai di atas 80 dengan penerapan sistem konsensus egaliter.

 

"Kita masih dianggap hierarki, misalkan Kapolri (Kepala Kepolisian Republik Indonesia) ngomong ambil itu, ya oleh bawahannya, sampai bawahannya lagi diambil, misal," kata Saut.

 

Untuk itu, ia berharap dari akademisi dapat bersikap kritis termasuk dalam kehidupannya sehari-hari melawan korupsi. Saut menyarankan, sesekali akademisi perguruan tinggi dapat membuka dialog dengan pemimpin daerah sepertu gubernur dan bupati menekankan itu.

 

Bila ingin menaikkan angka penanganan korupsi yang hanya 30-an tersebut menjadi minimal 50, tentu harus membereskan masalah-masalah yang ada terlebih dulu. Untuk itu bila secara kelakuan, tentu akademisi yang dapat diharapkan menjadi pionirnya.

 

Selain itu, ia berpendapat, penanganan korupsi sulit dilakukan di Indonesia karena tingginya tingkat persekongkolan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Hal itu menjadikan pendidikan kepada masyarakat begitu penting, agar dapat menolak segala bentuk korupsi yang melahirkan persekongkolan.

 

Menurut Saut, Indonesia pun sedikit kecelakaan menerapkan Undang-Undang yang mengatur tindak pidana korupsi yang bisa ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, peraturan yang ada hanya membuat KPK hanya bisa mengurusi korupsi yang bernilai di atas satu miliar.

 

Untuk itu, ia berharap tokoh-tokoh daerah di Indonesia bisa menajdi pionir pemberantasan korupsi, atau segala bentuk gratisfikasi yang belakangan masuk ke dalam bentuk lain korupsi. Termasuk, berani menerapkan sistem egaliter agar ada kontrol dari segala sisi baik dari atas ke bawah maupun sebaliknya.

 

"Ini baru milestone (tonggak awal) kita membersihkan negara kita," ujar Saut.

 

Sementara, Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Lincolin Arsyad menilai, korupsi tidak cukup hanya didekati dengan pendekatan hukum. Ia berpendapat, korupsi di Indonesia lebih dari kejahatan luar biasa, mengingat sudah menggurita, berurat dan berakar.

 

"Makanya, kita harus sama-sama, memberantas korupsi harus jadi gerakan karena tidak cukup hanya diserahkan kepada aparat saja, semua elemen masyarakat harus aktif melawan korupsi," kata Lincolin di Hotel Quality, Selasa (24/10).

 

Ia menekankan, korupsi dalam ilmu ekonomi merupakan kebobrokan yang sangat buruk, karena selain moral merusak sisi-sisi ekonomi. Bahkan, Lincolin mengumpamakan, saat ini tidak ada bangunan yang tidak retak dan semakin luasnya retakan menunjukkan semakin besarnya korupsi yang ada.

 

Untuk itu, ia berpendapat, pemahaman arti korupsi itu sangat tepat bila akan disampaikan kepada akdemisi-akademisi, terutama dari perguruan tinggi Muhammadiyah. Terlebih, Muhammadiyah saat ini memiliki 179 perguruan tinggi, dengan lebih dari 12 ribu dosen.

 

"Jika nanti dididik, biar bisa menghilangkan budaya terima kasih, apalagi yang merupakan bentuk-bentuk lain dari korupsi," ujar Lincolin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement