REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk membenarkan maraknya praktik korupsi di Indonesia karena biaya politik yang sangat tinggi dan tidak rasional. Akibatnya, demi memenuhi biaya politik, banyak kepala daerah dan anggota legislatif yang tergiur melakukan korupsi.
"Biaya kampanye caleg (calon anggota legislatif) dan calon kepala daerah sampai ratusan miliar rupiah. Biaya ini sangat tinggi dan tidak rasional," kata Hamdi Muluk pada diskusi 'Etika Pejabat Publik' di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin (23/10).
Menurut Hamdi Muluk, biaya kampanye yang sangat tinggi tersebut tidak rasional, karena gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 15 juta-Rp 20 juta, sedangkan gaji anggota DPR RI hanya sekitar Rp 50 juta. Dengan biaya kampanye yang mencapai ratusan miliar, menurut dia, maka dari gaji yang diterimanya dikumpulkan selama lima tahun, belum menutupi biaya kampanye.
"Dengan biaya kampanye yang sangat tinggi, maka banyak juga caleg dan calon kepala daerah yang mencari sponsor untuk membiayai kampanyenya," katanya.
Hamdi menjelaskan, kalau ada spnsor maka kepala daerah dan anggota legislatif yang terpilih akan membela sponsor dan berusaha mengembalikan biaya sponsor. Kondisi seperti ini, katanya, yang sering menjebak kepala daerah dan anggota legislatif kepada praktik korupsi.
"Kepala daerah dan anggota legislatif yang membela sponsor, maka akan mencari aman dan tidak begitu peduli dengan rakyat," katanya.
Hamdi Muluk mengusulkan, agar rakyat mengawasi kinerja pejabat publik, terutama kepala daerah dan anggota legislatif. Menurut dia, jika tidak ada pengawasan dari publik maka akan marak praktik korupsi.
"Ada pengawasan, seperti adanya KPK saja, masih banyak praktik korupsi, bagaimana jika tidak diawasi?" katanya.