Ahad 22 Oct 2017 04:43 WIB

Jeritan Muslimah Korban Penghinaan

Erdy Nasrul, Jurnalis Republika.
Foto:

Kedua, aksi tersebut lahir dari pemahaman yang sempit. Kasus penghinaan di London dengan korban ibu beserta anaknya misalkan, menandakan si pelaku mudah sekali menggeneralisasi ISIS. Hanya karena mengetahui pelaku ISIS kebanyakan Muslim, kemudian seenaknya dia menganggap Muslimah yang sedang bercengkerama dengan ‘buah hati’ sama seperti pengikut ISIS, sehingga harus dilawan. Sungguh ini pandangan yang tercela.

Ketiga, pandangan picik itu semakin membesar karena islamofobia. Sikap anti-Islam ini lahir karena hasutan dan fitnah keji. Hanya karena mendengar ceramah pembenci Islam, sebagian warga Barat dengan mudahnya ikut melakukan hal sama. Mereka tidak membaca, apalagi mengkaji teks-teks ajaran Islam.

Pandangan seperti itu terus berkembang selama tidak ada syiar pemahaman tentang Islam yang sesungguhnya. Kalau mereka tidak diajak berdialog, maka bukan tidak mungkin pemahaman mereka akan membentuk gerakan permusuhan yang lebih berbahaya. Sangat mengerikan.

Jauh sebelum Barat mengampanyekan keanekaragaman adat dan kultur, Rasulullah sudah menyerukan kebersamaan hidup warga berbagai latar belakang agama, dan ras. Melalui Piagam Madinah yang dikeluarkan pada 622 M, Nabi mengarahkan kehidupan masyarakat kepada penghargaan nilai-nilai kemanusiaan.

Di dalamnya ada 23 aturan tentang hubungan kaum Muhajirin dan Anshar. Ada juga puluhan pasal yang menerangkan hubungan umat Islam dengan non-Muslim. Salah satunya adalah larangan salah satu pihak ‘menumpahkan darah’. Jika sampai terjadi, maka salah satu pihak akan dihukum, bahkan harus keluar dari kota. Sejarah seperti ini sangat perlu diketahui masyarakat Barat dari berbagai kalangan agar mereka memahami dan melaksanakan toleransi.

Satu hal lain yang harus diwaspadai pemerintah Barat adalah semangat kebersamaan umat Islam. Jangan sampai petinggi negara Barat meremehkan kasus penghinaan dan penganiayaan di atas. Rentetan kejahatan diskriminatif itu kalau tidak diantisipasi, akan menjadi ‘api dalam sekam’. Pemberitaan mengenai diskriminasi umat Islam ini akan menarik perhatian berbagai pihak. Sangat mungkin nantinya akan melahirkan gerakan massa yang masif di berbagai negara.

Belajarlah dari kasus Shalat Jumat bersama ribuan Muslim Amerika Serikat di sekitar Capitol Hill Washington 2009 lalu. Aksi tersebut merupakan perlawanan umat Islam terhadap diskriminasi yang mereka alami.

Belajarlah dari kasus-kasus yang menistakan ulama dan ajaran Islam. Siapa pun pelakunya, apa pun jabatan yang diemban, pasti akan mendapatkan reaksi keras umat. Muslim Indonesia sudah menunjukkan semangat melawan pelecehan agama dan ulama.

Dunia menyaksikan bagaimana jutaan Muslim dari berbagai daerah berkumpul dalam damai di dekat Istana Kepresidenan. Mereka memprotes kepala daerah yang merendahkan ayat Ilahi dan menghina tokoh agama yang menjadi pewaris para nabi. Banyak lagi aksi-aksi membela Islam di negara lain yang menunjukkan kebersamaan umat.

Yang mempersatukan mereka sehingga terpanggil untuk turun ke jalan membela agamanya adalah tauhid. Semangat lainnya adalah persaudaraan. Ayat Alquran yang menerangkan bahwa sesama Muslim adalah bersaudara (al-Hujurat: 49) dipahami sebagai kebersamaan. Satu Muslim disakiti, maka lainnya ikut merasakan hal sama.

Tauhid dan persaudaraan menjadi kekuatan. Sangat mungkin jika aksi diskriminasi terus terjadi, emosi umat Islam akan terbakar, sehingga mereka akan menyuarakan protes keras di berbagai negara. Gelombang massa akan memenuhi jalan-jalan dan area pusat pemerintahan. Takbir dan protes menyuarakan penegakkan hukum untuk melawan penghinaan

Islam dan umatnya akan menggema.

Namun sebelum itu semua terjadi, lebih baik semua pihak melakukan pencegahan. Langkah itu lebih baik ketimbang menenangkan umat yang terlanjur merasa disakiti, karena saudara-saudaranya mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement