Ahad 22 Oct 2017 04:54 WIB

25 Tahun Perbankan Syariah

Bank Muamalat
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Bank Muamalat

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Izzudin Al Farras Adha, Peneliti INDEF

Sejak pertama kali didirikan pada tahun 1992, Bank Muammalat menandai terbukanya geliat dakwah ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah, di Indonesia. Tidak sedikit pencapaian ditorehkan dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia.

Misalnya, saat ini Indonesia memiliki 13 bank syariah, 22 unit usaha syariah, dan lebih dari 160 bank perkreditan rakyat syariah di seluruh wilayah di Indonesia. Selain itu, sejak 2016 lalu, perbankan syariah telah mampu menembus level psikologis 5 persen pangsa pasar dibandingkan bank konvensional.

Bank Indonesia sebagai induk dari semua bank di Indonesia juga telah mendukung bank syariah sejak 15 tahun lalu melalui pembuatan cetak biru pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Bahkan, setahun kemudian, yaitu pada tahun 2003, Bank Indonesia membuka sebuah direktorat baru yang bernama Direktorat Perbankan Syariah yang berarti bank sentral mendukung penuh hadirnya perbankan syariah di Indonesia.

Saat ini juga sudah terdapat regulasi setinggi Undang-Undang (UU) untuk mengatur perbankan syariah, yaitu UU nomor 21 Tahun 2008. Namun, di balik semua pencapaian di atas, serta berbagai pencapaian lainnya, terdapat sejumlah tantangan yang tidak mudah dihadapi ke depan. Lembaga terkait, seperti OJK, ataupun sejumlah pengamat telah banyak mengemukakan tantangan tersebut. Dalam hal ini, diperlukan berbagai terobosan untuk memperluas manfaat perbankan syariah.

Pertama, perbankan syariah membutuhkan kebijakan dan regulasi pemerintah yang kondusif serta afirmatif terhadap ekonomi dan keuangan syariah. Sebabnya ialah selama ini perbankan syariah dibebaskan bersaing dengan perbankan konvensional dalam banyak hal, padahal dari berbagai sisi, misalnya kemampuan pendanaan, perbankan syariah masih jauh di bawah perbankan konvensional. Artinya, diperlukan political will dari pemerintah untuk turut serta mengembangkan perbankan syariah lebih jauh lagi.

Kedua, saat ini Indonesia telah memiliki sebuah institusi untuk menangani keuangan syariah secara lintas kementerian/lembaga, yaitu Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS). Tidak tanggung-tanggung, pimpinan KNKS dipegang langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Namun, KNKS saat ini perlu diberdayakan lebih jauh karena belum terlihat gebrakan yang mampu mendobrak persoalan perbankan syariah selama ini. Selain itu, kehadiran Presiden Jokowi sebagai nakhoda sesungguhnya juga sangat dibutuhkan agar terdapat keselarasan visi dan koordinasi antarkementerian/lembaga yang berada dalam naungan KNKS. Dengan begitu, impian Presiden Jokowi agar Indonesia mampu menjadi pusat keuangan syariah dunia dapat tercapai secepatnya.

Ketiga, orientasi pragmatis semata dalam bisnisnya harus diubah dalam model bisnis perbankan syariah. Sebabnya ialah terdapat persepsi yang berkembang bahwa perbankan syariah hanya mengejar keuntungan. Kejadian yang menggambarkan ini adalah, misalnya, kejadian pemberian pinjaman kepada PT Rockit Aldeway oleh Bank Muamalat sebesar Rp 100 miliar pada November 2015 dan seketika macet di bulan selanjutnya, Desember 2015.

Selain itu, pemberian fasilitas pembiayaan oleh sindikasi perbankan syariah kepada PT BIJB juga dapat dianggap bermasalah karena pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, itu menggusur ribuan warga secara paksa dan mencerabut masyarakat dari penghidupannya sebagai petani. Dalam hal ini, perbankan syariah perlu pula mengejar kemaslahatan umat yang dapat diukur melalui Maqashid Sharia Index (MSI). Tidak lupa juga untuk terus menjaga perbankan syariah dalam kerangka sharia compliance sehingga tidak keluar dari koridor-koridor syariah yang telah ditetapkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement