Sabtu 21 Oct 2017 18:59 WIB

RUU Penyiaran Terganjal Dua Isu Kritis

Rep: Kabul Astuti/ Red: Elba Damhuri
Ilustrasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembahasan RUU Penyiaran masih belum ada kepastian. Komisioner KPI Pusat Agung Suprio mengatakan undang-undang penyiaran yang digunakan saat ini sudah usang dan tidak mengikuti teknologi yang berkembang pada masa kini. Tapi, pembahasan RUU Penyiaran di DPR RI masih terganjal perdebatan tentang pengelola multiplexer (mux).

Agung mengatakan pembahasan RUU Penyiaran sudah berlangsung sejak 2008. Menurut Agung, ini merupakan rancangan undang-undang yang paling lama dibahas dan tidak pernah mencapai kesepakatan. Ia khawatir rancangan undang-undang ini juga tidak mencapai titik temu di antara anggota DPR pada tahun 2017 ini.

"Mandegnya di DPR itu sebetulnya hanya satu hal, yaitu siapakah pengelola multiplexer pada era digital nanti," kata Agung dalam sebuah diskusi bertema "RUU Penyiaran, Demokrasi, dan Masa Depan Media" di Warung Daun Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat, Sabtu (21/10).

Saat ini, sistem penyiaran masih menggunakan sistem analog dimana ada 14-15 televisi berjaringan. Di era digital nanti, menggunakan sistem multiplexer, satu kanal televisi bisa dibagi menjadi beberapa saluran. Taruhlah, 10-12 saluran. Jumlah saluran akan semakin banyak, karena jumlah kanal juga semakin banyak.

Pertanyaannya, siapa pengelola mux ini? Agung mengungkapkan sebagian anggota dewan dan para aktivis menyetujui //single mux//. Mux sudah seharusnya dikelola negara sebagai perwujudan UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk kepentingan masyarakat.

Sebagian pihak lain menyetujui sistem multi-mux, artinya pengelolaannya boleh dilakukan swasta. Pengelolaan mux secara tunggal oleh negara dikhawatirkan akan memunculkan sikap otoriter. "Swasta boleh mengelola multiplexer, (mereka) beranggapan bahwa kalau single mux nanti potensi otoritarian terjadi," jelas Agung.

Agung menambahkan perdebatan kedua menyangkut masalah implementasi. Ketika menggunakan sistem multi-mux yang dikelola oleh swasta, dikhawatirkan pihak swasta akan menerapkan beban yang mahal kepada televisi-televisi lain. Atau bahkan, ketika rating televisi tersebut tinggi, pihak swasta pengelola bisa mematikan.

Tapi, Agung mengungkap, sistem single mux juga menuai kekhawatiran. Yakni, potensi otoritarian dari negara. Agung menuturkan pemerintah sudah melakukan uji coba single mux lewat TVRI. Hasilnya, muncul banyak keluhan karena para pegawai TVRI dianggap masih menganut paradigma lama.

Menurut Agung, TVRI dinilai tidak mampu menampung televisi-televisi swasta yang sudah punya paradigma global. Dua perdebatan ini cukup pelik dan tidak kunjung mencapai titik temu sejak RUU Penyiaran dibahas pada 2008.

"Maka kemudian ada terobosan bagaimana kalau bukan TVRI, umpamanya badan hukum lain yang memang punya perangkat, seperti Telkom misalnya, sebagai pemegang mux yang disepakati oleh kedua belah pihak," ujar Agung.

Diskusi ini juga dihadiri Kapoksi Fraksi Partai Nasdem Baleg DPR Luthfi Andi Mutty, Sekjen ATVSI/ Direktur Independen Visi Media Asia Tbk Neil Tobing, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Prof Judhariksawan, dan Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement