REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin yang juga Mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Prof Judhariksawan, mengatakan migrasi dari analog ke digital harus mempertimbangkan kondisi sosiologis yang sudah ada dan tidak boleh merugikan siapapun.
Judhariksawan menceritakan apa yang dilakukan Amerika ketika akan melakukan migrasi digital pada 2016. "Perubahan dari analog ke digital oleh negara seliberal Amerika pun, itu punya satu pakem bahwa jangan merugikan siapapun," kata Judhariksawan dalam sebuah diskusi di Warung Daun Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat, Sabtu (21/10).
Yang dilakukan oleh pemerintah AS terhadap industrinya, Judha menuturkan, adalah melakukan semacam siaran bersama antara analog dan digital. Pemerintah mempersilahkan swasta untuk melakukan simulasi siaran analog dan digital secara bersamaan guna memberikan kesempatan memilih mana yang terbaik, analog atau digital.
Setelah itu, lanjut Judha, swasta diberikan lebar cakupan frekuensi (bandwidth) sebesar enam megahartz. Mereka diberikan pilihan terhadap untuk memanfaatkan enam megahartz tersebut, entah menjadi satu siaran standard definition (SD) atau dua siaran SD.
Amerika juga memberikan subsidi sebesar 40 dolar per rumah tangga untuk warga negaranya yang masih menonton lewat satelit free to air, agar bisa menonton televisi digital. "Intinya migrasi analog ke digital itu adalah satu keniscayaan karena teknologi, karena ada efisiensi frekuensi yang memang sudah diatur oleh konvensi. Tapi perubahan itu jangan merugikan siapapun, even itu publik bahkan," kata Judha.
Lanjut Judha, UU Penyiaran yang sedang dibahas juga tidak boleh menafikan kerja-kerja para penyelenggara multiplex sebelumnya. Ada tujuh lembaga penyelenggara multi mux di Jakarta, lima lembaga di luar Jakarta, dan TVRI sebagai lembaga publik. Mereka sudah melakukan siaran uji coba atas dasar Peraturan Menteri Kominfo tahun 2011 untuk melakukan migrasi dari analog ke digital.
Judha mengatakan para penyelenggara multiplexing ini juga telah membangun infrastruktur selama 2011-2013. Menurut dia, dana yang telah dikeluarkan dapat ditaksir mencapai triliunan rupiah. Namun, peraturan menteri tersebut dibatalkan dalam judicial review oleh Mahkamah Konstitusi.
Judha menyatakan para pembuat undang-undang harus menitikberatkan agar perubahan ini tidak merugikan siapapun. Ketika ada perubahan UU Penyiaran, legislatir harus paham kondisi sosiologis yang terjadi hari ini karena undang-undang ini tidak mengatur sesuatu yang belum pernah ada.
Eks Ketua KPI ini menyatakan saat ini sosiologi masyarakat atau publik bahkan belum tersentuh di dalam RUU Penyiaran yang sedang dibahas oleh DPR RI. "Harus dipelajari dulu kondisi sosiologis ini, jangan sampai kemudian UU Penyiaran ini menimbulkan dampak," kata Judhariksawan.
Komisioner Korbid PS2P KPI Pusat Agung Suprio mengatakan sistem single mux juga mendapat penentangan dari pihak Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI). ATVSI merasa keberatan, karena selama ini swasta sudah membangun berbagai infrastruktur penyiaran.
Jika memakai single mux, otomatis tower-tower dan infrastruktur lain tersebut tidak terpakai. Infrastruktur yang sudah dibangun itu menjadi sia-sia karena diambil alih oleh negara. "Ini yang kemudian ATVSI merasa tidak fair, kita sudah membangun infrastruktur untuk komitmen penyiaran kok tiba-tiba diambil alih oleh negara," kata Agung.