Kamis 19 Oct 2017 14:57 WIB

Soft Power Palestina

 Warga Palestina di Gaza City, Kamis (12/10), menyambut gembira kesepakatan rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah.
Foto: AP/Khalil Hamra
Warga Palestina di Gaza City, Kamis (12/10), menyambut gembira kesepakatan rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fahmi Alfansi P Pane, Alumnus Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia

Kesepakatan rekonsiliasi faksi Fatah dan Hamas merupakan momentum membangun kekuatan Palestina sebagai satu kesatuan menuju kemerdekaan. Pembangunan kekuatan bersama itu penting karena Israel tetap menggelar operasi keamanan rutin di Gaza pascarekonsiliasi.

Bahkan, Israel menangkap nelayan Gaza dan dikabarkan akan memperluas wilayah penangkapan ikan di perairan Gaza sejak 18 Oktober. Berbagai tindakan ini dapat memprovokasi aktivis Hamas untuk membalasnya dan menimbulkan friksi dengan Fatah.

Hamas telah berjanji tidak akan menyerang Israel sebagai bagian dari kesepakatan rekonsiliasi. Namun, penderitaan luar biasa warga Gaza karena pembangunan pagar dan pemutusan akses infrastruktur dasar kehidupan, serta provokasi Israel secara kontinu dapat mendorong mereka ke tepi kesabaran.

Rekonsiliasi juga dapat retak saat ada perbedaan kepentingan politik domestik, seperti saat pemilu nanti. Apalagi, Israel melakukan operasi psikologis, seperti menyebarkan kabar kritikan keras petinggi Hamas kepada Mahmud Abbas atas pengurangan anggaran energi, kesehatan, dan kebutuhan lain warga Gaza.

Meskipun pembangunan kekuatan bersama perlu segera dilakukan, Fatah dan Hamas perlu memprioritaskan aspek tertentu. Selama ini kedua faksi lebih fokus pada kekuatan militer, yang tergolong hard power (kekuatan memaksa). Meski itu penting, kekuatan kedua faksi ini terlalu lemah dibanding dengan Israel.

Dari jumlah personel saja sudah kalah jauh, apalagi dibandingkan alutsista (alat utama sistem persenjataan) mereka. Jumlah militer aktif Israel 176.500 orang dan cadangan 465 ribu orang. Adapun Brigade Qassam dari faksi Hamas berkekuatan 15 ribu hingga 20 ribu orang. Lalu, pasukan Otoritas Palestina dari pengawal presiden dan pasukan khusus berjumlah total 4.200 orang, plus 9.000 orang polisi (The Military Balance 2016).

Adapun alutsista Israel mencakup senjata nuklir, jet tempur, sistem pertahanan udara Iron Dome, kapal perang, kapal selam, dan sebagainya. Palestina hanya mengandalkan roket Qassam, mortar, dan dilaporkan memiliki beberapa rudal antitank.

Selain kekuatan militer, kekuatan ekonomi juga tergolong hard power. Namun, kekuatan ekonomi Palestina masih terlalu kecil untuk memaksa Israel memenuhi agendanya. Bahkan, Palestina belum mampu memenuhi kebutuhan dasar warganya, seperti air bersih, listrik, pelayanan kesehatan, dan lain-lain.

Karena itu, Palestina perlu memprioritaskan soft power (kekuatan persuasif) untuk melengkapi hard power. Kemampuan untuk mengombinasikan kedua kekuatan itu menjadi strategi yang efektif disebut Joseph Nye Jr (2011) sebagai smart power (kekuatan cerdas).

Menurut Nye, kekuatan persuasif suatu negeri bergantung pada tiga sumber daya, yakni kultur, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negeri. Dalam konteks Palestina, ketiga sumber daya itu berarti segala hal yang menarik dari kekayaan budaya Palestina yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan dunia, serta menjadi kekuatan moral yang diakui.

Dengan kata lain, segala potensi Palestina yang dapat menjadi daya tarik dunia internasional untuk mendukung kebijakan luar negerinya secara sukarela dan kesadaran sendiri. Potensi tersebut juga dapat berasal dari diaspora Palestina, baik di kawasan Arab, maupun Amerika, Eropa dan lain-lain.

Sumber daya ekonomi juga dapat menjadi sumber soft power, selain hard power, khususnya dalam bentuk kerja sama perdagangan dan investasi. Namun, kerja sama perdagangan dan investasi baru terealisasi jika keamanan dan kestabilitasan politik tercapai lebih dulu.

Ada beberapa usulan program yang dapat dioptimalkan sebagai soft power Palestina. Pertama, Pemerintah Palestina, faksi Fatah dan Hamas berfokus pada pembangunan manusia, termasuk dalam bernegosiasi dengan lembaga multilateral dan negara-negara besar (major powers).

Sebagai contoh, Amerika Serikat (AS) bersikap sangat keras terhadap Hamas, tetapi AS membantu pembangunan ekonomi dan sosial. Misalnya, AS membantu proyek penyediaan air bagi petani dan pengolahan air limbah di Jericho, Tepi Barat.

Kecukupan air akan membantu kehidupan dan perekonomian rakyat. Lebih dari itu, membaiknya kualitas hidup rakyat akan memperkuat semangat dan daya tahan mereka dalam jangka panjang. Generasi muda juga dapat menempuh pendidikan untuk transfer pengetahuan dan teknologi, termasuk penyiapan industri strategis dan berteknologi tinggi.

Jika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, perjuangan membentuk negara merdeka secara sistemis dan jangka panjang hanya menjadi wacana. Bahkan, jika proyek-proyek sejenis semakin banyak ditempatkan di Palestina, lembaga multilateral dan negara-negara besar akan keberatan jika Israel menggelar operasi militer ofensif karena dapat membahayakan petugas dan infrastruktur mereka.

Kedua, Palestina menyebarkan informasi kemajuan pembangunan Palestina dan meminta peningkatan kerja sama. Dengan Indonesia, potensi soft power tersebut dapat dikembangkan, antara lain, melalui Rumah Sakit Indonesia, seperti pendidikan dokter dan perawat, vaksinasi, alat kesehatan, serta fasilitas pendidikan penghapal Alquran, dan sebagainya. Kerja sama serupa dapat digelar dengan dunia Arab dan Muslim lainnya.

Ketiga, kedekatan Palestina dengan umat Islam sedunia karena keberadaan Masjid al-Aqsha harus dioptimalkan, baik dengan program pendidikan, dakwah, maupun pariwisata. Bahkan, Palestina perlu membuat strategi jenama bahwa tanah suci Palestina adalah milik umat Islam sedunia, sehingga harus dibela bersama. Merek tersebut perlu disosialisasikan, baik melalui diplomasi pemerintah maupun people to people diplomacy, termasuk melalui media massa dan media sosial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement