Selasa 17 Oct 2017 04:37 WIB

Pengamat: Permintaan Staf Khusus Presiden tak Tepat

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Gita Amanda
Kaca mobil yang pecah akibat ricuh di Kemendagri
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Kaca mobil yang pecah akibat ricuh di Kemendagri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar mengatakan, tidak tepat staf khusus presiden meminta untuk para tersangka kejadian perusakan di kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dibebaskan. Menurutnya, masalah politik tidak bisa dicampuradukkan dengan hukum, apalagi jika tindakan para pelaku cukup alat bukti.

"Jika tindakan para pelaku cukup alat bukti, maka tidak tepat staff khusus presiden meminta untuk para tersangka dibebaskan. Dan, polisi pun salah jika membebaskan," ujar Bambang ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (15/10) lalu.
 
Menurutnya, semua pihak harus patuh dan tunduk kepada hukum. Peradilan, kata Bambang, merupakan jalan satu-satunya yang dapat membebaskan atau tidak membebaskan para tersangka dari hukum.
 
Terkait alasan permintaan penangguhan penahanan sebelas tersangka tersebut, yang dikatakan dapat menyebabkan situasi di Papua semakin rumit, Bambang berkata, masalah politik tak bisa dicampuradukkan dengan hukum. Politik, menurutnya, harus mengambil sikap dan tindakan yang cerdas sendiri.
 
"Kalau memanfaatkan hukum atau polisi, itu sama dengan mempolitisir polisi. Tidak boleh itu," kata Bambang.
 
Di kepolisian, sambung Bambang, juga tidak boleh ikut-ikutan bermain politik praktis. Contohnya dengan menyetujui permintaan agar tersangka tersebut dikeluarkan dari tahanan dan tidak dteruskan perkaranya. "Tidak diteruskan atas permintaan Pemda/Presiden. Padahal alat bukti dan saksi-saksi cukup untuk dituntut pidana," terang dia.
 
Sebelumnya, Staff khusus Presiden asal Papua, Lennis Kogoya meminta Kepolisian melepaskan sebelas pelaku perusakan di Kemendagri yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Ia juga meminta Kepolisian tidak memproses kesebelas tersangka tersebut secara hukum. Lennis beralasan, penahanan sebelas tersangka tersebut justru menyebabkan situasi di Papua semakin rumit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement