REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung HM Prasetyo mengungkapkan sejumlah kendala instansinya, Kejaksaan Agung dalam memberantas tindak pidana korupsi. Kesulitan itu di antaranya dalam hal perizinan dan anggaran.
"Kendala kejaksaan. Berkaitan dengan dinamika norma hukum, putusan MK terhadap objek praperadilan. Perubahan rumusan pasal dalam UU tipikor, khususnya pasal 2 dan 3 yang semula delik formil menjadi delik materil," ungkap Prasetyo di Gedung DPR RI, Senin (16/10).
Selain itu, keterbatasan anggaran kejaksaan juga menjadi kendala Kejaksaan Agung, Untuk pemenuhan sarana dan prasarana. Rata-rata kebutuhan anggaran mencapai Rp 4,7 triliun setiap tahun. Untuk satu perkara dibutuhkan Rp 150 juta dimana operasional penuntutan tergantung pada jarak dan wilayah.
"51 persen untuk gaji pegawai, kita punya 10 ribu jaksa dan 3.000 staf administrasi. Betapa kecilnya anggaran kejaksaan," ujar Prasetyo.
Keterbatasan kewenangan juga dialami Kejakgung. Pasalnya, menurut Prasetyo, Kejakgung terikat rezim perizinan. "Semua perlu izin pengadilan untuk penggeledahan dan pemeriksaan, punya alat sadap tapi dibatasi penggunaannya," ungkapnya lagi.
Prasetyo mengakui, Kejakgung sendiri menggantungkan harapan pada KPK yang memiliki kepercayaan masyarakat karena dukungan wewenang koordinasi dan supervisi. "Hanya saja, supervisi rasanya kurang bahkan belum pernah ada. Sesuai surat Jampidsus, ada 10 perkara yang disupervisi dan koordinasi oleh KPK, Polri dan kejaksaan wajib patuh pada apa yang diinginkan KPK," kata Prasetyo.