REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Arif Akhyar menilai, kesadaran tentang warisan budaya memang belum dibangun, baik itu dari pemerintah maupun masyarakat. Ia melihat, perhatian pemerintah terhadap candi-candi itu masih berdasarkan untung dan ruginya saja.
"Pengakuan pemerintah selalu dihubungkan dengan untung dan rugi sebuah proyek, misalkan mengurusi Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, lebih menguntungkan daripada mengurusi Candi Mendut," kata Arif kepada Republika, belum lama ini.
Jadi, lanjut Arif, ini lebih kepada pandangan kapitalistik daripada membangun suatu budaya warisan yang lebih kepada tangible (berwujud) dan intangible (tidak berwujud) sekaligus. Artinya, pemerintah terjebak ke dalam persoalan wisatawan sebagai sebuah proses kapitalis.
Ia melihat, masyarakat bukan tidak tertarik apalagi tidak mau mengenal warisan budaya yang lain, tapi mereka tidak punya saluran-saluran untuk memahami apa yang sudah tangible dan intangible tersebut. Termasuk dunia akademik, yang dirasa asik dengan dunianya, dan membuat pembelajaran belum bisa dirasakan.
"Sehingga, urusan persoalan learning proses tangible dan intangible sebagai sebuah warisan belum bisa dibaca langsung masyarakat, sehingga masyarakat memang belum tahu karena memang tidak ada saluran untuk tahu," ujar Arif.
Untuk candi-candi yang ada di Kabupaten Sleman sendiri, jika dirunut, malah sebenarnya banyak temuan-temuan baru yang umurnya lebih tua dari candi-candi yang terkenal sekarang. Jadi, banyak artefak-artek kecil peninggalan itu umurnya sangat tua seperti Candi Kimpulan di tengah UII.
Ini merupakan logika asektural ornamen mengingat pembangunan pasti dimulai kecil-kecil terlebih dulu, lalu masuk teknologi, perkembangan pengetahuan, dan temuan-temuan simetrisitas ruang. Baru setelah itu, mereka membangun lebih besar sampai sebesar temuan-temuan yang ada.
"Contoh belum lama ini saya ke Sukoharjo, di Desa Pengkol ada artefak Shiwa yang selama ini ada tapi tidak diurus," kata Arif.
Belum lagi, artefak itu ada di lahan sawah warga yang di pinggiran patung Shiwa itu ada sungai purban yang sampai sekarang pun masih kelihatan jelas kalau itu sungai purba. Selatannya, menjelang Wonogiri, ada batu-batuan seperti Tebing Breksi yang aslinya dari letusan Merapi atau Lawu masa purba.
Ia menekankan, itu semua berarti ada peradaban yang tidak pernah dijadikan warisan yang tangible atau intangible sekalipun untuk diceritakan. Menurut Arif, selama ini perhatian yang ada kepada candi-candi itu, khususnya yang non-populer, masih berdasarkan perhitungan untung dan rugi saja.
"Jadi ini salurannya belum ada, kepentingannya cuma kapitalis, ini untung apa tidak, dan kalau dikembangkan rugi apa tidak," ujar Arif.