REPUBLIKA.CO.ID, Program restorasi ekosistem hutan tropis akan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat yang bermukim di kawasan hutan. Menurut Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Nurul Yamin program tersebut selain bertujuan untuk mengurangi emisi karbon juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat kampung Batu Rajang.
"Bagaimana meningkatkan pendapatan masyarakat adat di beberapa kampung Kabupaten Berau menjadi harapan dan cita-cita warga Muhammadiyah disini,’’ kata Yamin yang dihubungi beberapa waktu lalu.
Ia mengungkapkan, program restorasi ekosistem hutan tropis bertumpu pada pengembangan hasil hutan non kayu sehingga dampaknya akan mengurangi emisi karbon. "Kondisi saat ini sebagian besar pendapatan masyarakat bersumber dari hutan. Maka ke depannya diperlukan upaya untuk memberikan income generating kepada masyarakat lokal tanpa merusak hutan,” katanya.
Program itu, jelas dia, berlangsung sekitar dua tahun hingga akhir 2017. Program restorasi hutan dan pengurangan emisi karbon difokuskan pada kegiatan bersifat on farming, berupa peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat terkait budidaya tanaman hutan non kayu seperti lada, karet, gaharu, empon-empon.
Hal ini penting diajarkan kepada masyarakat agar mengubah pola bahwa tanaman hutan adalah sumber pendapatan mereka. Sehingga masyarakat adat yang sudah dapat memahami akan diajarkan bagaimana mereka dikenalkan pada budidaya tanaman hutan non kayu. ‘’Masyarakat adat di pinggir hutan sangat minim pengetahuannya mengenai budidaya tanaman hutan non kayu. Padahal jika budidaya ini berhasil, hasil yang dirasakan mereka jauh lebih besar,’’ terang Yamin.
Sedangkan untuk mendongkrak ekonomi masyarakat dan mengurangi kemiskinan, MPM PP Muhammadiyah memfokuskan kegiatan off farming dengan meningkatkan masyarakat melalui penguatan kelembagaan ekonomi kelompok (koperasi) dan perluasan jaringan usaha. Untuk itu, MPM PP Muhammadiyah juga menginisiasi terbentuknya lembaga ekonomi masyarakat berupa koperasi. Bersamaan dengan itu, didorong juga terbentuknya jaringan usaha ekonomi masyarakat.
“Ini ikhtiar simultan dari kami untuk mengatasi persoalan lingkungan dan ekologis yaitu dengan restorasi hutan untuk pengurangan emisi karbon, disisi lain sekaligus meningkatkan kesejahteraan dengan mengurangi kemiskinan,” tambah Yamin.
Potensi alam
Pemberdayaan masyarakat adat sekitar hutan Berau diharapkan mampu menyadarkan masyarakat akan potensi alam dan sumber daya manusia sekaligus tantangan yang dihadapi masyarakat. Karena ia melihat potensi alam di hutan Berau belum dikelola secara maksimal sehingga belum memberikan keuntungan bagi masyarakat.
Bila proses penyadaran ini berhasil maka diharapkan tumbuh semangat dan inovasi untuk mengembangkan diri agar memperoleh kehidupan yang lebih sejahtera dan memiliki daya tahan untuk mencari solusi atas masalah-masalah yang dihadapi masyarakat sendiri.
“Pemberdayaan ini bukan kegiatan karikatif yang berujung pada tumbuhnya sifat ketergantungan. Karena ujung keberhasilannya adalah kesejahteraan dan kemandirian masyarakat,’’ tegasnya.
Oleh sebab itu, Yamin mengusulkan agar program pemberdayaan masyarakat harus berkesinambungan dan konsisten. Fasilitator menjadi kunci keberhasilan, maka memerlukan komitmen kuat dari semua pihak dengan tidak melupakan partisipasi masyarakat itu sendiri.
Hutan dan Kemiskinan
Orang miskin di Indonesia ternyata tidak hanya yang hidup di perkotaan maupun pedesaan. Di kawasan hutan yang terpencil, kehidupan masyarakat adat disana justru lebih memprihatinkan. Hutan yang semestinya membawa berkah buat mereka, di rusak oleh para pemodal yang tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup. Akibatnya kondisi hutan makin rusak dan masyarakat pun terkena dampaknya.
Saat ini terdapat sekitar 25.863 desa yang berada di kawasan hutan. Dan sekitar 71 persennya menggantungkan hidup dari sumber daya hutan. Diperkirakan 10,2 juta jiwa warga yang hidup di kawasan hutan dalam kondisi miskin. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat laju deforestasi di Indonesia pada periode 2000 hingga 2010 melesat hingga 1,2 juta hektar hutan alam setiap tahunnya.
Sedangkan Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat laju deforestasi atau penghilangan hutan alam baik karena penebangan maupaun peristiwa kebakaran menjadi yang tertinggi dengan laju lebih dari 5,5 juta hektar selama periode 2000 hingga 2009. Khusus untuk Kabupaten Berau laju kepunahan hutan lebih dari 24 ribu hektar hutan per tahun. Sektor kehutanan pun disebut bertanggung jawab atas lebih dari 10 MtCO2e emisi per tahun, terutama karena pembalakan yang tak ramah lingkungan dalam konsesi Hak Pengusaha Hutan (HPH).
Belum lagi dengan izin membuka 100 ribu hektar konsesi minyak kelapa sawit, yang akan memberikan tekanan tambahan pada hutan di Berau. Emisi karbon yang ada di Kabupaten Berau terutama berasal dari perubahan penggunaan lahan itu setara dengan emisi 4,5 juta kendaraan roda empat.