REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) mengajukan sengketa informasi publik ke Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia (KIP RI). Mereka mengajukan sengketa informasi publik atas tidak diberikannya laporan dua pekanan PT. Kapuk Naga Indah dan PT. Muara Wisesa Samudera kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Upaya hukum ini ditempuh setelah sebelumnya koalisi meminta informasi publik tersebut secara tertulis pada Mei 2017 dan mekanisme keberatan pada September 2017," ungkap Nelson Nikodemus Simamora dari Lembaha Bantuan Hukum (LBH) mewakili KSTJ di Kantor KIP RI, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (12/10).
Nelson menyebutkan, KSTJ bukan tanpa dasar mengajukan permohonan untuk informasi publik tersebut. Dalam sanksi yang dikeluarkan melalui surat keputusan (SK) KLHK kepada dua perusahaan tersebut, pada ditkum ketiga, disebutkan tentang kewajiban pengembang untuk melaporkan hasil pelaksanaan perintah kepada KLHK maupun pengawasan oleh Menteri LHK. "Hal itulah yang dimintakan oleh KSTJ, namun tidak kunjung diberikan," ujar Nelson.
Bila dihitung, ada jeda waktu selama empat bulan sejak pihaknya mengajukan permohonan keterbukaan informasi publik itu. Pada Juni 2017, kata Nelson, pihak KLHK membalas permohonan itu dengan mengatakan, mereka meminta waktu untuk mengumpulkan informasi itu.
"Waktu itu kami berpikir positif saja, jadi kami hanya menunggu. Mungkin informasinya itu bisa satu dus atau tebalnya berapa centimeter," jelas Nelson.
Akibat lamanya menunggu itu, yang seharusnya hanya tujuh hari sebagaimana diatur dalam Undang-undang (UU) No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pihaknya mengajukan keberatan ke KLHK. PIhaknya mengajukan keberatan ke KLHK pada 25 September 2017 lalu.
"Tapi, bukannya memberikan apa yang diminta, KLHK malah hanya memberikan SK Penacabutan No. 449/MenLHK/Setjen/Kum.9/9/2017 melalui surat tertanggal 4 Oktober 2017. Di sinilah letak masalah pertama," kata dia.
Menurutnya, dengan hanya diberikannya SK itu, Menteri LHK tidak transparan dalam megaproyek murni swasta itu. Proyek yang berdampak pada kehidupan ribuan orang di Jakarta.
Lalu, lanjut Nelson, hanya sehari kemudian, pada 5 Oktober 2017, Menteri Koordinator Maritim (Menko Maritim) mengeluarkan surat No. S-78-001/02/Menko/Maritim/X/2017 perihal Pencabutan Penghentian Sementarai atau Moratorium Pembangunan Reklamasi Teluk Jakarta. Dalam surat tersebut dijelaskan, telah "disepakati", proyek reklamasi Teluk Jakarta tidak ada masalah lagi.
"Dan KLHK telah mencabut Pengenaan Sanksi Administrasi Paksaan Pemerintah Berupa Penghentian Seluruh Kegiatan PT. Kapuk Naga Indah dan PTV Muara Wisesa Samudera, masing-masing pada Pulau C, D, dan Pulau G. Di sini letak masalah kedua," jelas Nelson.
Nelson mengatakan, Menko Maritim dan Menteri LHK seolah-olah bekerja sama untuk menyembunyikan proses yang penting, yaitu proses penegakkan hukum. Tidak ada kejelasan apakah aspek lingkungan, hukum, teknis, dan lainnya telah selesai atau tidak.
"Tidak ada penjelasan resmi secara terbuka dan komprehensf yang menghadirkan orang-orang terdampak (proyek reklamasi Teluk Jakarta)," tutur dia.
Ia pun kemudian membandingkan proses tersebut dengan apa yang dilakukan Rizal Ramli pada saat menjadi Menko Maritim pada 2016. Ketika itu, Rizal mengeluarkan Surat Menko Maritim No. 27.1/Menko/Maritim/IV/2016 perihal Moratorium Pembangunan Proyek Reklamasi Teluk Jakarta pada 19 April 2016.
"Hal itu dibahas melalui rapat gabungan yang dihadiri Gubernur DKI Jakarta, Menteri LHK, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan pejabat gedongan lainnya. Itu juga disiarkan langsung di televisi. Bahkan, saat ini sudah dapat ditonton kapan saja di YouTube," ujar Nelson.
Sekali lagi ia mengatakan, tidak diberikannya informasi tersebut dan pencabutan moratorium membuktikan, proyek reklamasi Teluk Jakarta adalah proyek yang serba gelap dan tidak transparan. Padahal, proyek tersebut berdampak pada nasib puluhan ribu warga negara Indonesia. "Berbagai surat tidak pernah direspon, aksi unjuk rasa tidak dihiraukan, upaya hukum diterabas, dan lain-lain," terang dia.