REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksana Tugas (Plt) Unit Pelacakan Aset Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irene Putri mengatakan, KPK tidak perlu izin dari pengadilan untuk menyita barang termasuk sita eksekusi uang pengganti. Irene menjelaskan, penyitaan dilakukan tanpa izin dari pengadilan berdasarkan pasal 47 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Pada pasal itu berbunyi, atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. Sitaan belum hak negara, tapi baru upaya paksa penyidik untuk melakukan penyitaan atas semua dilimpahkan ke penuntut umum," jelas Irene dalam diskusi Barang Sitaan dan Barang Rampasan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (11/10).
Barang sitaan tersebut, kata Irene, nantinya akan dikaji apakah relevan untuk pembuktian atau tidak. "Termasuk penyitaan yang diduga tindak pidana maka penuntut umum akan melakukan review apakah merupakan hasil tindak pidana atau tidak, belum ada implikasi itu rampasan negara," ucap Irene.
KPK, lanjut Irene, juga bisa melelang barang sitaan. Namun, tidak semua barang sitaan itu bisa dilelang. Hanya beberapa kriteria barang sitaan saja yang dapat dilelang, seperti benda hidup yakni hewan, dan mobil sesuai dengan pasal 45 KUHAP. Dim
Dalam pasal itu menyatakan, KPK bisa melelang barang sitaan tapi terbatas untuk barang yang mudah rusak, sulit perawatannya sehingga bisa dilelang lebih dulu, mekanismenya, sedapat mungkin dengan persetujuan terdakwa, ujar dia. Ia pun mencontohkan lelang sapi milik mantan Bupati Subang, Ojang Sohandi yang merupakan barang sitaan KPK. Pada saat itu KPK melakukan lelang sapi karena biaya perawatan yang kemungkinan akan lebih mahal dalam perawatan bila tidak disegerakan dilelang.
Adapun, setiap barang sitaan milik KPK selalu dinilai setiap enam bulan. Tim di KPK akan menaksir harga barang apabila memang barang itu akan dilelang.
Irene menambahkan, pihak KPK juga bisa melelang barang yang masih bersifat kredit. Apabila sebuah majelis hakim perkara korupsi menyatakan barang yang berstatus kredit disita untuk negara. KPK akan menghitung apakah akan meminta kepada pihak ketiga selaku penjamin kredit atau membebankan kepada peserta lelang.
"Contoh, apabila ada apartemen hasil korupsi masih ada sisa cicilan 10 kali, KPK akan mencari tahu dan menghitung besaran nilai apartemen. Nantinya, KPK bisa saja memasang harga jual normal dikurangi nilai taksiran," jelasnya.