REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan adanya pembengkakan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengungkapkan, pembengkakan tersebut diketahui dari hasil audit investigatif yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 25 Agustus 2017yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara TPK pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun. Sebelumnya, kerugian negara dalam kasus ini ditaksir sebesar Rp 3,7 triliun. "Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun," kata Febri saat dikonfirmasi, Selasa (10/10).
Bedasarkan hasil audit investigatif BPK tersebut, lanjut Febri, ditemukan indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL kepada BDNI dimana surat tersebut tetap diberikan meskipun Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajiban hutangnya secara menyeluruh.
"SKL diduga diterbitkan, sementara masih ada kewajiban yang harus diselesaikan. Itu lah yang dibahas secara rinci dalam audit investigatif tersebut," terang Febri.
Adapun hutang yang masih harus diselesaikan Sjamsul Nursalim sebesar Rp 4,8 triliun atas kucuran dana BLBI pada tahun 1998. Total tagihan itu, terdiri dari Rp 1,1 triliun yang ditagihkan kepada petani tambak, sementara, sisanya Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restukturisasi oleh BPPN, dan tak ditagihkan kepada bos PT Gajah Tunggal Tbk tersebut.
Namun, kata Febri, setelah dilelang oleh PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA), aset sebesar Rp 1,1 triliun yang dibebankan pada petani tambak hanya bernilai Rp 220 miliar. "Sisanya Rp4,58 triliun menjadi kerugian negara," jelasnya.
KPK pada April lalu menetapkan Syafruddin Arsjad Temenggung (SAT) sebagai tersangka dalam kasus BLBI. Kasus ini telah melalui proses penyelidikan di KPK sejak 2014 lalu. Syafruddin yang menjabat sebagai ketua BPPN sejak April 2002 ini menyampaikan usulan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada Mei 2002. Isi usulan tersebut, yakni agar KKSK menyetujui terkait perubahan proses litigasi Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.