Ahad 08 Oct 2017 18:27 WIB

Peneliti PUSAM UMM Juarai Lomba Esai Kemanusiaan

Malam Penghargaan Lomba Esai 2017.
Foto: Dokumen
Malam Penghargaan Lomba Esai 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Peneliti Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM),  Muhammad Subhan Setowara, menjuarai Humanitarian Essay Competition 2017 atau lomba esai nasional bertema 'Konflik dan Krisis Kemanusiaan'. Kompetisi ini diadakan oleh International Committee of the Red Cross (ICRC) bekerja sama dengan situs opini Qureta.

 

Dalam esainya, ia mengangkat kisah dan pengalamannya sebagai minoritas Muslim di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Subhan berhasil menyisihkan tujuh finalis lainnya yang merupakan hasil seleksi dari sekitar 350 peserta lomba se-Indonesia. Kompetisi berlangsung sepanjang 15 Agustus hingga 15 September yang ditutup dengan Malam Penghargaan pada 6 Oktober.

Pada kompetisi ini, Subhan menulis esai berjudul 'Ingin Belajar Toleransi? Jadilah Minoritas'. Sedangkan juara dua diraih Jessica Novia Layantara dengan esai berjudul 'Pintu yang Terbuka', dan juara tiga diraih Gorba Dom dengan esai 'Hak Asasi Manusia, Lingkungan, dan Etnis Rohingya'.

Kepala Delegasi ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste Cristoph Sutter mengaku bangga dengan banyaknya penulis muda Indonesia yang peduli pada persoalan konflik dan kemanusiaan. Hal itu menurutnya sejalan dengan misi ICRC.

"ICRC telah hadir di 80 negara membantu para korban konflik. Rasa peduli kita sangat penting karena itu membuat dunia lebih baik. Kalian generasi muda adalah para penerus yang ikut menentukan wajah dunia," kata Sutter pada Malam Penghargaan Lomba Esai di Executive Lounge Hotel Grandhika Iskandarsyah Jakarta.

Sementara itu, Subhan mengatakan, tragedi yang menimpa minoritas Muslim Rohingya merupakan inspirasi utamanya menulis esai ini. Subhan mengakui, menjadi minoritas adalah hal yang sungguh berat, tak boleh sembarangan menyuarakan aspirasi karena bisa-bisa akan berbenturan dengan kepentingan dan relasi kuasa kaum mayoritas.

"Saya ini lahir di Kupang, ibu kota NTT yang merupakan provinsi dengan persentase populasi Muslim terendah di Indonesia dan satu-satunya yang di bawah dua digit, yaitu 9,05 persen. Saya juga pernah belajar di sekolah Kristen. Bagi saya, konflik dan ketegangan bisa terjadi karena mayoritas yang terlalu angkuh atau minoritas yang tak sadar diri," kata alumni Muslim Exchange Program (MEP) Australia ini, dalam siaran pers.

Sekalipun begitu, Subhan mengaku beruntung karena minoritas Muslim di Kupang bisa hidup dalam harmoni bersama penganut Kristen dan Katolik. Dikatakan, kekerasan antaragama pada November 1998 telah mengajarkan mereka, tak ada yang menang dalam sebuah konflik. "Kalaupun menang, menang jadi arang kalah jadi abu," ujarnya.

Hancurnya masjid di kampung halamannya, Desa Oebufu, Kupang, pada 30 November 1998 masih terekam jelas dalam ingatan keluarganya. "Kejadian yang membuat kami harus mengungsi sementara waktu. Sekarang, 19 tahun setelah peristiwa itu terjadi, kami tidak lupa, tetapi tidak ada dendam. Kami belajar dan bertumbuh dari pengalaman itu," kisahnya.

Subhan pun berharap, konflik di masa lalu yang melibatkan minoritas Muslim di Ambon, Poso, dan Tolikara menjadi pelajaran bagi bangsa untuk tak memberi ruang bagi prasangka dan intoleransi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement