REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga saat ini, pihak kepolisian belum juga terbuka dengan aset First Travel, sehingga perlu adanya transparasi soal aset ini. Karena tidak ada jaminan jamaah akan bisa diberangkatkan pada 2020, karena darimana asal uang untuk memberangkatkan umrah para jamaah tidak jelas.
Pengamat haji Indonesia Ade Marfuddin Rabithah menuturkan aset yang telah dijual, totalnya harus diumumkan pada publik dan pada yang dirugikan. "Selamatkan jamaah yang mau berangkat, ya diberangkatkan saja dengan aset yang dijual," ujar dia saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (6/10) siang.
Ade menyetujui keinginan para jamaah yang mengharuskan jamaah diberangkatkan secara berangsur-angsur, karena itu tidak bisa dilakukan secara sekaligus. Apalagi aset dijual, dan hasilnya ditumpuk dulu, itu tidak akan berjalan dan tidak akan ada bisa yang menjamin.
"Ini bukan kesalahan travel sendiri, ini juga ada penghimpunan dana besar yang luput dari pengawasan OJK dan perbankan BI, harusnya para pengawas keuangan itu juga menegur dari awal, ini uang siapa kok bisa membengkak. Kasus First Travel ini kan jadi kena kemana-mana," jelas Ade.
Jika ternyata aset tidak cukup, tentu harus diubah caranya. Misalnya mau dibagi rata saja asetnya, ya segera dibagi saja, daripada semua jamaah dirugikan. Seharusnya, ada cara yang bijak yang bisa disampaikan pada jamaah yang dirugikan. Karena perihal total aset, saat ini masih hanya sekedar indikasi, belum jumlah pasti.
"Harusnya ada tim mewakili dari korban, tim pemerintah, tim kepolisian, kejar itu asetnya, kumpulkan, sehingga perwakilan jamaah mengetahui. Tidak boleh sepihak hanya pemerintah saja. Kita khawatir kalau hanya pemerintah dan polisi saja dan tidak melibatkan orang yang dirugikan, itu jadi masalah lagi," jelas Ade.