REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG --- Keputusannya mengharuskan mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI membuat Dosen Fisip UIN ini banjir menerima pertanyaan. Mengapa Mewajibkan Mahasiswa Menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI?
Menjawab pertanyaan tersebut Yenrizal, dosen Ilmu Komunikasi di UIN Raden Fatah mengungkapkan, semua mahasiswa yang mengambil mata kuliah yang diasuhnya, yaitu Pengantar Ilmu Komunikasi dan Komunikasi Profetik wajib menonton film karya sutradara Arifin C Noer tersebut.
Menurut Yenrizal yang menjabat Wakil Dekan I Fisip UIN Raden Fatah ini, dalam satu bulan terakhir, muncul heboh pemutaran ulang film Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI. Pemutaran itu diinstruksikan Panglima TNI kemudian mendapat tanggapan pro dan kontra.
Pro-kontra pun menguat, isu pun melebar, ranah politik pun dimasukinya. Banyak prediksi-prediksi dan analisa berkembang. "Bagi saya itu cukup merisaukan. Saya tidak berbicara soal aspek politik ataupun perebutan kekuasaan yang kemudian berkembang, terlalu berbelit-belit kalau bicara itu," katanya, Senin (2/10).
Alumnus Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) ini menjelaskan, Pro-kontra dan riuh rendah masalah tersebut juga menjadi salah satu penyebab ia mengharuskan mahasiswa untuk menontonnya.
"Banyak yang tidak setuju, mereka mengatakan itu film propaganda, penuh kekerasan dan sebagainya. Bagi saya, ada alasan-alasan tertentu yang mengharuskan itu dilakukan," tuturnya.
Ia mengakui film ini memang dibuat pada masa Orde Baru dan bercerita tentang terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap beberapa jenderal TNI AD, yang disebutkan dilakukan oleh PKI. Cerita ini dimulai dari bagaimana situasi sosial politik saat itu, dinamika yang berkembang, kemiskinan, friksi di tubuh ABRI, kondisi Presiden Soekarno, hingga ke penumpasan PKI dan pengangkatan para korban di Lubang Buaya.
Film ini dikatagorikan semi dokumenter, dibuat berdasarkan fakta-fakta yang memang pernah terjadi. Tetapi sebuah film tetaplah film, dengan kata lain unsur dramatis, teknik visualisasi, reka adegan tetaplah dilakukan. Namun fakta-fakta utama dari sejarah yang terjadi tidaklah diabaikan.
"Fakta penting itu, bahwa peristiwa pembunuhan terhadap para jenderal TNI ini tidak bisa dibantah.Dari berbagai buku yang saya baca, baik buku yang pro ataupun kontra, semua tidak ada yang membantah peristiwa itu terjadi," kata alumnus Fisip Universitas Sriwijaya (Unsri).
Yenrizal menambahkan, fakta bahwa PKI terlibat pada peristiwa G30S/PKI juga banyak diakui para ilmuwan di berbagai tulisan sejarah, seperti pada karya Harold Crouch, Anderson dan McVey. "Kalaupun ada yang mengatakan tidak terlibat, argumentasinya juga masih diragukan," ujarnya.
Alasan lain menurut pengajar Fisip UIN Raden Fatah adalah secara resmi dan sah PKI dan ideologi komunis dinyatakan terlarang di Indonesia berdasarkan TAP MPRS No. 25/1966. Sampai sekarang aturan hukum itu belum dicabut. "Paham komunis dan PKI tidak bisa disebarluaskan begitu saja. Semua pihak harus tahu akan hal ini, termasuk mahasiswa," katanya.
Yenrizal juga mengingatkan, perkembangan teknologi informasi (TI) belakangan ini menyebabkan ragam informasi bisa masuk dan berseliweran kemana-mana.
Antara berita bohong dan fakta sudah sulit disaring. PKI bangkit dalam bentuk partai secara resmi mungkin tidak akan terjadi, karena secara hukum sudah dilarang. Tetapi ideologinya bisa saja dikembangkan dalam berbagai bentuk dan variasinya. Kemajuan TI sangat mungkin membangun opini-opini tertentu. "Masyarakat dituntut cerdas, bisa menganalisa dan bisa berpikir secara kritis," ujarnya.
Mahasiswa UIN Raden Fatah yang diwajibkan menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI. menurut Yenrizal, adalah generasi muda yang tidak mengalami peristiwa 65 dan yang terdekat reformasi 1998.
Mereka lahir pada masa-masa hamburan informasi sudah sangat massif dan godaan budaya massa yang begitu kencang. Banyak pelajaran-pelajaran sejarah masa lalu yang sangat krusial tidak mereka ketahui apalagi paham.
"Ini sangat miris. Media massa termasuk film harus dijadikan sebagai media belajar. Kewajiban nonton film G30S/PKI yang saya terapkan, menjadi bahan diskusi dan kajian akademis dengan para mahasiswa," katanya.
Menurutnya, patut berterimakasih pada TNI yang sudah membuka kembali ingatan lama tentang masa-masa kelam negara ini. Mengingatkan penting, karena ada nasehat, jangan sampai dua kali kehilangan tongkat.