Sabtu 30 Sep 2017 21:15 WIB

Fluktuasi Relasi dan Target RUU Lembaga Pendidikan Keagamaan

Suwendi Doktor Pendidikan Islam.  Salah Satu Tim Perumus Peraturan Menteri Agama tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan Ma’had Aly.
Foto: dok. Pribadi
Suwendi Doktor Pendidikan Islam. Salah Satu Tim Perumus Peraturan Menteri Agama tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan Ma’had Aly.

Oleh: Suwendi

Doktor Pendidikan Islam.

Salah Satu Perumus Peraturan Menteri Agama tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan Ma’had Aly.

Perhatian negara terhadap pendidikan Islam sesungguhnya sangat tergantung dari bagaimana tingkat relasi antara komunitas/organisasi yang bergerak di bidang pendidikan Islam dengan penguasa negara, khususnya pimpinan negara. Relasi yang disharmoni antara keduanya berimplikasi pada keberpihakan negara terhadap layanan pendidikan Islam dinilai kurang nyata, demikian juga dengan kondisi sebaliknya.

Meski ada banyak organisasi Islam yang memiliki layanan pendidikan Islam, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi yang secara historis dan de facto membawahi dan memiliki sejumlah layanan pendidikan Islam yang paling dominan, seperti pondok pesantren, madrasah diniyah, pendidikan Alquran, dan madrasah ibtidaiyah (MI)/tsanawiyah (MTs)/aliyah (MA) yang berstatus swasta. Sementara organisasi lainnya, seperti Muhammadiyah dan beberapa organisasi Islam lainnya lebih dominan memiliki layanan pendidikan umum, seperti SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi.

Dalam konteks hubungan antara NU dengan negara pasca Indonesia merdeka, relasi keduanya cenderung mengalami fluktualisi tersendiri. Di masa Orde Lama, komunikasi NU dengan Soekarno relatif cair dan pada tingkat tertentu terseok-seok, pasang surut oleh karena terkait dengan sejumlah isu, seperti resolusi jihad, rumusan Pancasila, komunis, dan lain-lain. Pada masa ini negara lebih banyak berkonsentrasi pada perumusan fondasi berbangsa dan bernegara sehingga afirmasi negara untuk layanan pendidikan Islam belum terlihat secara nyata.

Pada periode Orde Baru, relasi NU dengan negara mengalami fluktuasi yang begitu nyata. Soeharto sebagai leader yang berlatar belakang militer cenderung kurang memberikan ruang yang terbuka untuk layanan pendidikan Islam. Di era 1970-an, yang digembor-gemborkan secara masif oleh negara adalah justru lembaga pendidikan sekolah umum dengan kebijakan Sekolah Inpres, sehingga layanan pendidikan yang direkognisi oleh negara hanyalah sekolah (SD, SMP, dan SMA), dengan mengajarkan mata-mata pelajaran umum yang demikian besar sementara mata pelajaran agama sangat minim.

Di tahun 1975, desakan jamaah NU begitu kuat yang mendorong negara agar mata-mata pendidikan agama Islam dimasukkan dalam sistem pendidikan nasional. Desakan itu memunculkan kelahiran SKB 3 Menteri, yakni Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan, dan Menteri Dalam Negeri, yang bertujuan agar tingkat mata pelajaran umum di madrasah sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum. Oleh karena itu, SKB 3 Menteri itu menetapkan tiga hal penting, yakni (1) Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah dari sekolah umum setingkat, (2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang sekolah umum jenjang atasnya, dan (3) siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum.

Di era 1980-an, relasi NU dan negara kembali mengalami gesekan yang luar biasa. KH Abdurrahman Wahid yang biasa disapa Gus Dur, sebagai tokoh NU dan pesantren, melakukan kritikan yang begitu tajam terhadap Soeharto. Bahkan, sebagaimana dinyatakan oleh Greg Barton yang mengutip wawancara jurnalis luar negeri, Gus Dur mengkritik Soeharto dan kebijakannya yang disebutnya sebagai 'stupid' yang kemudian mengundang murka Soeharto. Hal ini berimplikasi pada retaknya hubungan antara NU dengan negara sehingga negara tidak memberikan ruang yang cukup atas akselerasi dan pengembangan pendidikan Islam.

Di era reformasi, terutama ketika Gus Dur menjadi Presiden RI (20 Oktober 1999–23 Juli 2001), kebijakan negara atas layanan pendidikan Islam, terutama pondok pesantren begitu kentara. Yang paling dominan di antaranya adalah lahirnya pemekaran dari unit eselon 3 menjadi unit birokrasi eselon 2 di lingkungan Kementerian Agama, yakni Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren yang khusus menangani pendidikan diniyah dan pondok pesantren, melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001. Kelahiran direktorat ini pada gilirannya melahirkan UU 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memposisikan pesantren dan pendidikan diniyah sebagai bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional dan munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Kini di periode Joko Widodo, relasi NU dengan pemerintah mengalami hubungan yang begitu intim. Joko Widodo secara politis membutuhkan NU, demikian juga NU cenderung merasakan kenyamanan dengan kepemimpinan Joko Widodo, yang di antaranya mampu menempatkan sejumlah menteri berasal dari kalangan nahdliyin dan kebijakan-kebijakan yang pro kepentingan NU.

Dengan melihat sejarah di atas, kita dapat mencapai sebuah kesimpulan bahwa memang diakui keberpihakan negara terhadap layanan pendidikan Islam itu sangat dipengaruhi oleh tingkat relasi antara organisasi yang menaungi layanan pendidikan Islam dengan pemerintah. Semakin mesra hubungan organisasi itu dengan negara dirasakan cenderung berimplikasi atas kenyamanan dan ikhtiar pengembangan pendidikan Islam.

Kehadiran RUU LPKP

Dalam konteks lahirnya Rancangan Undang-Undang tentang Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren (RUU LPKP) yang dimotori oleh Fraksi PPP dan Fraksi PKB, yang keduanya memang juga didominasi oleh kalangan nahdliyin, di era Joko Widodo ini cenderung mendapatkan momentumnya yang tepat. Terlebih, pasca terbitnya Peraturan Presiden nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), kehadiran RUU LPKP ini linier dan menjadi pengisi ruang atas kebijakan PPK. Sebab, patut diakui bahwa layanan pendidikan yang produktif dalam pendidikan karakter adalah pendidikan Islam, terutama melalui pondok pesantren dan madrasah diniyah. Kedua lembaga ini sarat dengan muatan dan mata-mata pelajaran pendidikan keagamaan sehingga efektif dalam pembentukan dan pengembangan karakter yang baik.

Pada aspek lainnya, kehadiran RUU LPKP hendaknya diposisikan dalam konteks memenuhi beberapa kepentingan berikut. Pertama, merekognisi (recognized) tradisi akademik dan kultur pendidikan yang berkarakter asli keindonesiaan. Tradisi akademik dan kultur pesantren sesungguhnya dibangun atas dasar budaya dan khazanah bangsa Indonesia. Hal ini berbeda dengan tradisi dan kultur sekolah atau universitas yang secara historis memang bukan dari kultur Indonesia, melainkan berasal dari kalangan koloni Barat. Almarhum Nurcholish Madjid pernah menyebut bahwa andai Indonesia ini tidak pernah dijajah oleh kaum kolonial, maka niscaya lembaga pendidikan yang diberlakukan dan dikenal di Indonesia adalah pondok pesantren. Sebab, pesantren memang lahir atas dasar budaya dan kekhasan Indonesia.

Kedua, menegaskan dan mereposisi secara signifikan atas sejumlah regulasi yang mengatur tentang pondok pesantren dan pendidkan keagamaan. Meski pondok pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan itu telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, afirmasi regulasi oleh negara terhadap layanan pesantren dan pendidikan keagamaan ini jauh terlambat.

Satu-satunya UU Sistem Pendidikan Nasional yang secara sharih menyebutkan pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan itu baru terjadi pada tahun 2003, yakni pada UU nomor 20 tahun 2003. Meski sebelumnya telah ada UU Sistem Pendidikan Nasional, namun tidak pernah “mengakui” pesantren dan pendidikan keagamaan itu menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional. UU nomor 20 tahun 2003 itu telah diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dan telah diterjemahkan ke dalam sejumlah Peraturan Menteri Agama (PMA), seperti PMA nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, nomor 18 tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren, dan sejumlah PMA lainnya.

Selain UU nomor 20 tahun 2003, telah terbit UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang dalam pasal 30 disebutkan nomenklatur Ma’had Ali, pasraman, seminari, dan bentuk lain yang sejenis. Meski belum ada Peraturan Pemerintah atas turunan pasal 30, regulasi tentang Mahad Aly telah diatur dalam PMA nomor 71 tahun 2015.

Melihat sejumlah regulasi di atas, aturan pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan dinilai “terlambat” hadir di banding dengan regulasi pendidikan umum lainnya. Regulasi yang mengatur pesantren di tingkat UU baru lahir di tahun 2003 dan di tingkat PP baru lahir di tahun 2007. Ini artinya kehadiran negara dalam aspek regulatif atas eksistensi pesantren itu hadir pada satu dasawarsa terakhir. Oleh karenanya, kehadiran RUU LPKP diharapkan dapat mempercepat akselerasi regulasi tentang pesantren dan pendidikan keagamaan.

Ketiga, mendorong kehadiran struktur birokrasi yang lebih proporsional dalam melayani pesantren dan pendidikan keagamaan. Di lingkungan Kementerian Agama RI, jabatan struktural setingkat eselon 2 (direktorat) yang khusus menangani pesantren dan pendidikan keagamaan itu baru lahir pada tahun 2001 melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001. Sebelumnya, keberadaan pesantren dan pendidikan keagamaan hanya dilayani oleh pejabat eselon 3 (subdirektorat).

Berdasarkan data EMIS Kementerian Agama tahun 2015/2016, jumlah layanan yang ditangani oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren meliputi lembaga sebagai berikut. [a] pondok pesantren: 28.194 lembaga, 4.290.626 santri, dan 354.941 kyai/ustad; [b] program wajar dikdas: 1.462 lembaga, 99.727 santri, 1.890 ustad; [c] program kesetaraan: 1.596 lembaga, 12.467 santri, dan 1.890 ustad; [d] madrasah diniyah takmiliyah: 84.966 lembaga, 6.369.382 santri, dan 489.448 ustad; [e] Pendidikan Alquran: 135.130 lembaga, 7.636.126 santri, dan 693.095 ustad. Dengan demikian, secara keseluruhan layanan yang menjadi tanggung jawab oleh seorang Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren berjumlah 251.348 lembaga, 18.408.328 santri, dan 1,541,264 ustad. Dalam penilaian penulis, sejumlah layanan ini sangat overloaded atas beban kerja direktorat. Untuk itu, sudah saatnya Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren itu dimekarkan menjadi jabatan struktural eselon 1 (satu), yakni Direktorat Jenderal.

Keempat, mendorong afirmasi anggaran yang berkeadilan untuk layanan pesantren dan pendidikan keagamaan. Aspek anggaran ini menjadi kata kunci yang harus dipastikan terjadi, yang setidaknya dilakukan melalui 3 (tiga) hal. Pertama, dalam draft RUU LPKP wajib dicantumkan porsi anggaran untuk pesantren dan pendidikan keagamaan itu dengan penyebutan secara tegas, seperti 15% dari alokasi anggaran fungsi pendidikan di APBN.

Kedua, beban pembiayaan tidak hanya bersumber dari Kementerian Agama ansich, namun juga pemerintah daerah berkewajiban untuk mengalokasi anggaran untuk layanan pesantren dan pendidikan keagamaan itu. Bahkan, lebih dari itu, dalam draft RUU LPKP dinyatakan agar Pemerintah Daerah dapat memberlakukan kebijakan wajib belajar pesantren, madrasah diniyah, atau pendidikan Alquran bagi daerah yang membutuhkan.

Ketiga, ini yang tidak boleh dilewatkan, harus dilakukan review dan perubahan atas UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sebab, oleh karena UU inilah layanan pondok pesantren tidak mendapatkan afirmasi anggaran yang jauh dari sekedar cukup.

Dalam UU nomor 33 tahun 2004 diatur secara rinci tentang pembagian alokasi APBN. Pada bagian ketiga dalam UU itu diatur mengenai tentang Dana Alokasi Umum yang pada pasal 27 ayat (1), misalnya,disebutkan secara jelas bahwa “Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN”. Angka 26% dari APBN untuk dibagi ke Pemda jelas ini mengurangi secara signifikan atas pembiayaan pendidikan terutama yang bersifat sentralistik. Patokan prosentase ini berimplikasi atas semakin besarnya anggaran untuk Pemda, di satu sisi, dan semakin mengecilnya bagi Kementerian/Lembaga di Pemerintahan Pusat di sisi lain, yang pada gilirannya anggaran untuk Kemenag, sebagai lembaga yang bersifat sentralistik, mendapatkan alokasi anggaran yang sangat kecil. Pemda yang telah mendapatkan alokasi 26% itu baru dari alokasi DAU. Belum lagi, Pemda dengan sendirinya mendapatkan alokasi 20% dari anggaran pendidikan dari PAD (Pendapatan Asli Daerah)-nya, sehingga Pemda mendapatkan alokasi anggaran pendidikan setidaknya 46%. Lebih dari itu, Pemda mendapatkan anggaran dari alokasi pendidikan dari DBH (Dana Bagi Hasil)DAK (Dana Alokasi Khusus) dan dana-dana lainnya.

Sebagai konsekwensinya, di tahun 2017, alokasi anggaran fungsi pendidikan itu sebesar 416,1 T atau sekitar 20% dari APBN 2.080,5 T. Dari 416,1 T itu untuk layanan pendidikan umum pada jalur formal seperti SD, SMP, SMA, dan SMK secara total sebesar 308.2 T atau sekitar 74.1% dari seluruh alokasi pendidikan. Jumlah itu dilakukan melalui transfer ke Pemerintah Daerah sebesar 268,4 T atau 64,5% dari anggaran pendidikan dan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar 39,8 T atau 9,6% dari anggaran pendidikan. Sisa alokasi anggaran lainnya, yakni 107.9 T dibagi-bagi untuk sejumlah kementerian/lembaga yang menyelenggarakan layanan pendidikan, seperti Kementerian Riset-Dikti (38,7 T atau 9,3% dari anggaran pendidikan), Kementerian Agama (50,4 T atau 12,1% dari anggaran pendidikan), dan Kementerian/Lembaga lainnya (12,8 T atau 3,1% dari anggaran pendidikan) dan BA/BUN (3,4 T atau 0,8% dari anggaran pendidikan).

Alokasi anggaran Kementerian Agama diperuntukkan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, bahkan hingga ke satker terkecil yang secara total lebih dari 4.484 satker. Alokasi yang diterima Kementerian Agama digunakan untuk pendidikan umum berciri khas agama pada jalur formal (RA/MI/MTs/MA), Pendidikan Tinggi Keagamaan (UIN/IAIN/STAIN/S), Pendidikan Agama di Sekolah dan Perguruan Tinggi Umum, Pendidikan Keagamaan Islam (Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah Takmiliyah, Pendidikan Alquran, Program Wajar Dikdas), bahkan untuk semua lembaga pendidikan keagamaan Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Alokasi itu digunakan termasuk untuk semua komponen yang melekat, seperti Tunjangan Profesi Guru, BOS, Pembangunan Sarana/Prasarana, dan lain-lain.

Jika dibandingkan, jumlah 50,4 T untuk Kementerian Agama pusat dan daerah yang digunakan untuk membiayai semuanya itu jauh lebih kecil dibanding dengan 1 (satu) unit alokasi anggaran Tunjangan Profesi Guru pada Sekolah (SD/SMP/SMA/SMK) yang sebesar 55.6 T. Walhasil, alokasi anggaran untuk pendidikan keagamaan biasanya tidak lebih dari kisaran 1 T. Artinya, dari alokasi 416,1 T fungsi pendidikan, hanya 1 T, bahkan masih di kisaran 800-an M, yang digunakan untuk layanan pesantren dan pendidikan keagamaan.

Atas dasar fakta-fakta di atas, kelahiran RUU LPKP perlu segera didraft, dimatangkan, dan didiskusikan dengan matang dan penuh perspektif demi kemajuan pesantren dan pendidikan keagamaan. Semoga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement