Jumat 29 Sep 2017 22:34 WIB

Islam tidak Mengenal Kata Radikal

 diskusi bertema 'Implementasi Ajaran Islam di Kalangan Generasi Muda' di Aula Arifin Tumpa Universitas Hasanuddin, Kamis (28/9)
diskusi bertema 'Implementasi Ajaran Islam di Kalangan Generasi Muda' di Aula Arifin Tumpa Universitas Hasanuddin, Kamis (28/9)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guna menyebarkan ajaran Islam damai di kalangan pemuda, Hasanuddin Law Study Centre (HLSC) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) mengadakan diskusi bertema 'Implementasi Ajaran Islam di Kalangan Generasi Muda' di Aula Arifin Tumpa Unhas, Kamis (28/9). Dalam seminar yang diikuti puluhan mahasiswa tersebut, hadir sebagai pemateri Ketua Dewan Pembina Ansor Sulsel Al Habib Syekh Sayyid Abdur Rahim Assegaf, Ketua Umum KNPI Sulsel Imran Eka Saputra B, dan dosen Fakultas Hukum Unhas Fajrul Rahman Jurdi.

Ketua Dewan Pembina Ansor SulSel, Syekh Sayyid Abd Rahim Asegaf mengatakan, ajaran Islam rahmatan lil alamin wajib hukumnya diterapkan sejak lahir. Dia mengakui, saat ini mulai berkembang paham radikal yang mengarah pada terorisme. Dia pun tak setuju dengan ajaran Islam yang disandingkan dengan paham radikal. "Karena Islam tidak mengenal kata radikal. Islam itu rahmatan lil alamin," katanya dalam siaran pers yang diterima republika.co.id, Jumat (29/9). 

Syekh Sayyid menuturkan, paham radikal dan terorisme berkembang di Britania Raya sejak abad ke-18 dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama Islam. Karena itu, ia mempertanyakan mengapa ada pihak tertentu yang mencoba selalu mengaitkan Islam dengan isu terorisme dan radikalisme. "Itu bukan sebenarnya bukan pada agamanya, namun merupakan kesalahan individu yang kebetulan beragama Islam, sehingga isu radikalisme dan terorisme menyerang Islam," jelasnya.

Ketua Umum KNPI Sulsel Imran Eka Saputra mengatakan, ajaran Islam memang bersifat rahmatan lil alamiin yang bermanfaat bagi seluruh alam semesta. Hanya saja, ia mengakui, memang ada organisasi Islam yang bergerak dalam radikalisme. "Pola berpikir mengenai agama terlalu sempit sehingga ketika ada konflik selalu dikaitkan dengan agama. Jadi ketika memahami Islam rahmatan lil alamiin maka kita harus berpikiran universal," katanya. 

Menguatkan pendapat Syekh Sayyid Abdul Rahim Assegaf, Imran menegaskan, Islam tak mengajarkan radikalisme dengan membunuh orang lain. Karena itu, kalau ada kejadian pemboman, sambung dia, bukan pada agamanya yang salah, namun pada pribadinya yang melakukan kesalahan dengan mengatasnamakan Islam.

Dosen Fakultas Hukum Unhas Fajlurrahman Jurdi mengatakan, radikalisme yang muncul di sebuah negara itu berasal dari modernisasi. Dia pun menyebut radikalisme negara lebih berbahaya daripada radikalisme individual. Dia menegaskan, setiap individu dalam sebuah negara dilarang melakukan kejahatan, pun dengan dalih agama karena melanggar hak asasi manusia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement