REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR Zulkifli Hasan mengajak masyarakat untuk menghentikan pro dan kontra terkait sejarah Gerakan 30 September 1965 (G30S), karena masih banyak persoalan kebangsaan yang harus segera diatasi bangsa Indonesia, seperti masih adanya kesenjangan ekonomi dan daya beli masyarakat semakin menurun.
"Kalau ada pihak yang mau nonton film G30S silahkan, dan tidak mau nonton pun dipersilahkan. Kita jangan menghabiskan energi untuk masa lalu, namun sebagai pembelajaran tidak masalah," kata Zulkifli dalam diskusi bertajuk "Pancasila, Komunisme, dan Pengkhianatan Negara" yang diadakan Pergerakan Indonesia Maju, di Jakarta, Jumat (29/9).
Dia mengatakan Ketetapan MPRS Momor 25 tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme masih berlaku. Menurut dia, Tap MPRS tersebut masih berlaku sehingga permasalahan dan perdebatan mengenai PKI serta ajarannya sudah selesai sehingga yang diperlukan saat ini adalah menghentikan pro dan kontra.
"Kita menghadapi tantangan berat sehingga harus move on, seperti kesenjangan ekonomi, daya beli menurun, dan anak muda melupakan sejarah bangsa," ujarnya.
Dia mengatakan tantangan bangsa Indonesia saat ini adalah bagaimana melaksanakan Pancasila dan empat konsensus yang telah disepakati bangsa Indonesia. Zulkifli mengkritisi masih adanya pihak-pihak yang tidak berjiwa Pancasila, misalnya ada anak yang sedang sakit lalu ditolak pihak rumah sakit karena tidak memiliki uang sehingga mengakibatkan anak tersebut meninggal.
"Lalu ada petani dari Kendeng yang menolak pembangunan pabrik semen, kami tidak menolak hal itu namun kekayaan alam di Indonesia setelah ada persetujuan kepala daerah lalu otomatis menjadi milik orang lain. Itu yang dipersoalkan," katanya.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro mengatakan anak muda Indonesia banyak yang tidak peduli dengan sejarah bangsanya karena ada yang salah dalam sistem pembelajaran, yaitu hilangnya membangun karakter anak bangsa. Dia menyoroti masih maraknya kepala daerah yang terjerat kasus dugaan korupsi disebabkan telah terjadi disorientasi terkait pemahaman menjadi seorang pimpinan di daerah.
"Gaji bupati sebulan hanya Rp6 juta, namun biaya menjadi kepala daerah bisa puluhan miliar, karena itu banyak 'pekerjaan rumah' yang harus diselesaikan," ujarnya.