REPUBLIKA.CO.ID, SORONG -- Tidak sampai hati melihat saudara sebangsa teracuhi, tidak pula nyaman melihat saudara se-Tanah Air terlupakan. Tampaknya itu jadi dasar Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah, melakukan pembinaan terhadap desa-desa terluar, terpencil dan tertinggal (3T) di Indonesia.
Tingginya kesenjangan antara si kaya dan si miskin, kebijakan yang kurang berpihak kepada kelompok-kelompok miskin, dan persoalan kultural masyarakat, meneguhkan MPM PP Muhammadiyah melakukan pendampingan dan pemberdayaan. Bagi mereka, langkah itu bukan sekadar panggilan kebangsaan, tapi lebih dari itu.
Ada misi kerisalahan dan kesejarahan, yang mewajibkan tiap elemen MPM PP Muhammadiyah memberikan perhatian lebih kepada mustadha'afin tersebut. Suku Kokoda di Sorong, Papua Barat, merupakan satu dari setidaknya lima daerah 3T yang tengah menjadi fokus pemberdayaan MPM PP Muhammadiyah.
Ketua MPM PP Muhammadiyah, Nurul Yamin menuturkan, sejak 2013 pembinaan terus diberikan kepada Suku Kokoda yang memiliki sistem hidup berburu dan berpindah (nomaden). Saat ini, masyarakat Suku Kokoda sudah mengalami setidaknya dua masa transformasi.
Pertama dari budaya berburu dan nomaden, menjadi masyarakat yang bertani, beternak yang bertempat tinggal tetap. Pemberdayaan pun tidak main-main dilakukan, yaitu dengan membelikan lahan untuk tempat tinggal mereka. Saat ini, mereka resmi jadi desa dan telah berdiri perumahan bantuan pemerintah.
Transformasi kedua, lanjut Yamin, menuju masyarakat yang terstruktur dengan tata kelola pemerintah desa, yang merupakan implikasi kehidupan menetap. Untuk itu, MPM menggandeng STKIP Sorong dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) untuk menerjunkan mahasiswa melakukan kuliah kerja nyata dan pemberdayaan kepada masyarakat Suku Kokoda.
"Harapan ke depan, Suku Kokoda yang sekarang sudah menjadi Desa Warmon Kokoda di Sorong, Papua Barat, dapat berkembang sebagaimana desa-desa lain di Indonesia yang telah maju," kata Yamin kepada Republika.co.id, Rabu (27/9).
Selain di Papua, pemberdayaan turut dilakukan di Manggarai Nusa Tenggara Timur, Sembalung di Nusa Tenggara Barat, Berau di Kalimantan Timur dan Sebatik di Kalimantan Utara. Menurut Yamin, perhatian kepada daerah 3T ini sekaligus amanah Muktamar Muhammadiyah di Makassar 2015 lalu.
Tiga peran penting seperti inspirator, motivator dan dinamisator, sangat ditekankan dalam aktivitas pemberdayaan masyarakat dari MPM PP Muhammadiyah. Karenanya, tiap ikhtiar dituntut kesabaran agar prosesnya berlangsung alami, gradual dan evolutif, bukan tergesa-gesa apalagi diracuni logika proyek.
Ada pula nilai-nilai agama dan pendidikan yang saat ini tengah ditanamkan, dan diwujudkan melalui hadirnya masjid, sekolah dan rumah baca di tengah-tengah masyarakat binaan. Adanya anak-anak kuliah kerja nyata berbulan-bulan tinggal di sana jadi contoh, sehingga penanaman nilai tidak sekadar teori.
Ia berharap, melalui langkah pemberdayaan ini masyarakat di daerah-daerah 3T dapat memberdayakan dirinya, sebagaimana desa-desa lain di Indonesia yang telah maju. Proses yang perlahan tapi pasti ini diharapkan pula mendapat perhatian lebih pemerintah, demi menghapus kesenjangan yang masih bertahta.
"Optimalisasi potensi lokal dengan pengembangan sumber daya manusia demi menjadikan mereka prioritas, sehingga pemerintah bisa dan memang harus lebih hadir di titik-titik kesenjangan itu terjadi," ujar Yamin.
Senada, Sekretaris MPM PP Muhammadiyah, Bachtiar Dwi Kurniawan menuturkan, MPM terus membangun amal usaha yang fokus mengabdikan diri, khususnya untuk daerah-daerah terluas, terpencil dan tertinggal (3T). Ia menilai, memang perlu ekstra sabar melakukan pemberdayaan kepada masyarakat tersebut.
Selain bertani dan beternak, MPM PP Muhammadiyah memberikan pelatihan-pelatihan bagi nelayan, agar dapat membuat perahu-perahu baik untuk dipakai maupun dijual. Saat ini, kehidupan masyarakat sebagai komunitas saja sudah mulai berkembang jadi administrasi desa yang jelas.
Bahkan, beberapa sudah memiliki identitas yang jelas sebagai seorang warga negara Indonesia, dan mampu mendapatkan pekerjaan. Perkembangan itu turut berdampak terciptanya perangkat dan aparatur desa, sampai ekonomi produktif dari masyarakat daerah-daerah 3T, termasuk Suku Kokoda.
Advertisement