Selasa 26 Sep 2017 18:41 WIB

Romli: KPK Terburu-buru Tetapkan Setnov Tersangka

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ratna Puspita
Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terburu-buru menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka dalam korupsi Kartu Tanda Penduduk (KTP-El). Sebab, dia mengatakan tidak ada penyerahan uang kepada Setya Novanto yang digambarkan dalam surat dakwaan untuk Irman dan Sugiharto.

"Walapun BPK mengatakan ada kerugian negara, buat siapa kerugian negara, yang jelas yang kemarin divonis. Makanya menurut saya KPK tergesa gesa," kata guru besar hukum pidana Universitas Padjajaran ini usai menjadi ahli dalam sidang praperadilan Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/9).

Dia menjelaskan surat dakwaan Irman dan Sugiharto tidak jelas penyerahan (levering) uang dalam kasus ini. “Kalau korupsi didakwa pasal 2 subsider pasal 3 (UU Tipikor), berarti ada kerugian negara, berarti ada uang yang berceceran kepada Setya Novanto. Ini enggak ada, itu masalahnya," tutur dia. 

Selain itu, Romli melanjutkan, surat dakwaan Irman dan Sugiharto juga tidak mencantumkan laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). 

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui hakim tunggal Cepi Iskandar menggelar sidang lanjutan praperadilan Setya Novanto dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemohon dalam hal ini Setya Novanto.

Ahli-ahli yang dihadirkan, antara lain ahli hukum pidana Romli Atmasasmita, ahli hukum acara pidana Chairul Huda, dan ahli administrasi negara I Gede Pantja Astawa.

KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP Elektronik) tahun 2011-2012 di Kemendagri pada 17 Juli 2017.

Setya Novanto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya, sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP elektronik pada Kemendagri.

Setya Novanto disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement