Sabtu 23 Sep 2017 04:31 WIB

Kisah Pak AR Menolak Jabatan Menteri dari Pak Harto

AR Fachrudin
Foto: PP Muhammadiyah
AR Fachrudin

Oleh Syaefudin Simon*

Namanya Abdul Rozak Fachrudin. Orang Yogya memanggilnya Pak AR. Tubuhnya gemuk, mukanya agak bundar. Suaranya berat, tapi enak didengar.

Saya pernah kos di "rumah"nya di Jl Cikditiro 19 A, selama hampir dua tahun. Di awal-awal kos, sungguh aku tidak tahu siapa itu Pak AR. Saya nglamar kos di situ karena diberitahu oleh Mas Ikhsan Haryono, mahasiswa Matematika FMIPA UGM Angkatan 1978, teman kuliah saya yang sering menjemin buku-buku filsafat dan sastra.

Saya baru "ngeh" siapa itu Pak AR ketika Mas Supodo -- mahasiswa Fakultas Tehnik Kimia UGM asal Madiun -- memberitahu siapa gerangan beliau.

Waktu itu saya tanya ke Mas Podo -- “Kok banyak sekali kartu lebaran dari orang besar sih Mas Podo, siapa sebenarnya Pak AR itu?” Saat itu, saya memang tidak tahu blas siapa Pak AR.

La, saya ini dari kecil sampai tamat SMA hidup di lingkungan pesantren klutuk. Yang saya tahu nama orang besar itu ya… KH Idham Cholid, KH Fatah Yasin, KH Musaddad, KH Subchan ZE, dan tokoh-tokoh NU lain. Tokoh-tokoh Muhammadiyah, blas gak ada yang tahu. Termasuk Pak AR. Bagaimana mau tahu, wong Muhammadiyah di kampung saya saat itu sempat dianggap aliran sesat.

Aku lihat di meja depan kamarku, ada kartu lebaran dari Pak Harto, Pak Wapres Umar Wirahadikusuma, Menteri Agama Alamsjah Ratu Prawiranegara, Menteri Sosial, dan banyak lagi. Batin saya, Pak AR ini pasti orang besar. Mana mungkin orang biasa dapat kiriman kartu lebaran dari Presiden Soeharto?

       

"Simon, Pak AR itu orang besar. Pak Harto saja sangat hormat kepada Pak AR," kata Mas Podo. Pak AR itu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah -- tambah orang Madiun dengan logat Jawa yang medok.

Ouh, saya kaget juga setelah Mas Podo cerita. Saya baru tahu siapa Pak AR setelah pemberitahuan Mas Podo tersebut. Selama ini saya baru menduga-duga kalau Pak AR itu bukan orang biasa.

        

Kenapa demikian? Karena keseharian hidup Pak AR sangat sederhana. Kemana-mana naik Yamaha warna oranye engkel tahun 70-an. Suaranya sudah kretek-kretek karena terlalu tua. Apalagi kalau boncengan sama Bu AR, joknya gak cukup, sampai bokong Bu AR nyaris menduduki lampu belakang motor.

Ya, hanya motor Yamaha butut itulah kendaraan miliknya. Putra Pak AR yang kuliah di Kedokteran UGM, Mas Fauzi, juga sering memakai motor tua itu.

Makanan keluarga Pak AR juga sama dengan anak-anak kos. Tahu tempe, sayur lodeh, sesekali ada telur dan ikan. Anak-anak kos yang orang tuanya kaya seperti Mas Udin (Kedokteran UGM) jarang makan di rumah. Ia makan di warung Padang di Terban. Saya pernah diajak Mas Udin makan di warung padang di Terban dekat MAN I . Enak sekali. Seumur-umur, itulah pertama saya makan di warung padang. Terimakasih Mas Udin!.

Maklumlah, saya berasal dari desa kecil Tegalgubug, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon. Di Arjawinangun saat itu, tahun 1978, tak ada warung padang. Bahkan di kota Cirebon pun belum ada. Jika pun ada saya tak akan sanggup membeli nasi padang yang enak itu.

Saya sebagai anak sulung bisa merasakan bagaimana ‘rekosonya’ orang tua untuk menghidupi anak-anaknya. Untuk makan sehari-hari saja sudah empot-empotan. Ayah saya hanya guru SD, ibu hanya ngurus anak yang saat itu jumlahnya 8 orang. (Tahun 1985, adik ke-11 lahir setelah saya bekerja di Batan, Pasar Jumat, Jakarta. Hebat ya ibu saya. Tangguh dan produktif. Saya dan adik-adik sekarang, paling banyak punya anak 5 orang. Gak sanggup seperti 'mamah' dan 'mimih').

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement